Selasa, 06 Juni 2023

Wali Songo Dan Islam Di Indonesia

 

Sumber: https://gadingpesantren.id/artikel/baca/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia-nusantara-walisongo 

Pengaruh Islam sangat kuat di daerah-daerah pesisir Utara Pulau Jawa, bahkan sejak abad XI telah muncul beberapa pemukiman orang Islam. Kemudian semakin berkembang hingga abad XV-XVI. Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo memiliki makna khusus yang dihubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi.[1] Peranan Wali Songo dapat dibentuk dalam beberapa bidang, seperti bidang pendidikan, bidang politik, dan yang paling terkenal ialah bidang dakwah:

1. Bidang Pendidikan

Peran Wali Songo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah ia mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.

2. Bidang Politik

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Wali Songo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka menjadi penasihat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Istrinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan Sunan Giri, fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.[2]

3. Bidang Dakwah

Sudah jelas sepertinya, peran Wali Songo cukup dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubaligh, Wali Songo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya yang bersejarah dari Wali Songo adalah mendirikan masjid Demak. Hampir semua Wali Songo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin oleh para Wali Songo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu gamelan. Ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukannya atau menyembah yang lain.[3]

Sejarah mencatat, selama rentang waktu antara 1446-1471 M sebagian besar penduduk Champa beragama Islam berbondong-bondong mengungsi ke Nusantara. Rentang waktu itu, tepat berurutan dengan terjadinya proses Islamisasi secara besar-besaran di Nusantara, yang dikenal sebagai zaman awal Wali Songo.[4] Dalam catatan historiografi lokal di Cirebon, Banten, maupun Jawa, dituturkan bagaimana para ulama dan bangsawan asal Champa seperti Syaikh Hasanuddin Qurro di Karawang, Raja Pandhita di Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, dengan kebijaksanaankebijaksanaan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah Wali Songo, menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosio-kultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi dengan adat budaya dan tradisi keagamaan yang sudah ada di Nusantara.

Tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai-nilai dan sistem sosial budaya masyarakat sebagai berikut:

1. Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa (Susuhunan ing Ngampel-denta handamel pranataning agami Islam, kanggenipun ing titiyang Jawi).

2. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda (Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda)

3. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah (Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan hutawi ulamulaman, kaliyan amewahi parabotipun ing among tani, utawi andamel garabah)

4. Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan (Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana)

5. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan (Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing dinten wulan tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi)

6. Sunan Bonang mengajar ilmu suluk, membuat gamelan, menggubah irama gamelan (Kanjeng Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending)

7. Sunan Drajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kanjeng Susuhunan Drajat, amewahi wanguning geiya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli sapanunggalanipun)

8. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pandai besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukkan bagi orang Jawa (Kanjeng Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel, waos duwung sapanunggalipun, utawi amewahi parabotipun bekakasing pande, kaliyan kemasan, saha adamel anggeranggeripun hingga pangadilan hukum ingkang keningning kalampahan ing titiyang Jawi).[5]

Hasil sukses yang diperoleh Wali Songo dalam menyebarkan dakwah Islam di tanah Jawa tidak bisa lepas dari metode yang dipakai kala itu, yaitu: Pertama, berdakwah melalui jalur keluarga atau perkawinan. Kedua, adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, metode Pendidikan pesantren adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar. Ketiga, adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa dalam, kebudayaan Jawa Wali Songo memberikan andil yang sangat besar. Keempat, adalah metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Kelima, dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di tanah Jawa, para wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya.[6]

Adapun pendekatan dakwah dengan seni budaya disalurkan dengan pertunjukan wayang, gamelan, dan seni lainnya yang merupakan budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Seni pertunjukan yang potensial menjadi sarana komunikasi dan transformasi informasi kepada publik, terbukti dijadikan sarana dakwah yang efektif oleh Wali Songo dalam usaha penyebaran berbagai nilai, paham, konsep, gagasan, pandangan, dan ide yang bersumber dari agama Islam. Cara ini dilakukan baik melalui proses pengambilalihan lembaga pendidikan asrama atau dukuh maupun melalui pengembangan sejumlah seni pertunjukan dan produk budaya tertentu untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dari sini, lahirlah bentuk-bentuk baru kesenian hasil asimilasi dan sinkretisasi kesenian lama menjadi kesenian tradisional khas yang memuat misi ajaran Islam.[7]

Peradaban Islam sangat berkembang pada masa Wali Songo, dengan dukungan kerajaan Demak. Tidak hanya di Pulau Jawa, kontak dengan Islam berikutnya juga terjadi di berbagai pulau di Nusantara, perkembangannya seiring dengan tujuan perdagangan atau semata-mata kerena pengajaran agama Islam. Hal ini dilakukan tidak terjadi dalam kurung waktu yang bersamaan, misalnya kontak Islam dengan Aceh dan Palembang pada abad VII M. Di Jawa hampir paling awal, berdasarkan bukti sejarah sekitar abad XI M. Selanjutnya disebarkan sampai ke Jawa Barat ± abad XVI, yaitu berkaitan dengan pengiriman tentara Kerajaan Demak ke Cirebon, Jayakarta, dan beberapa wilayah Kerajaan Pajajaran yang berkaitan dengan perluasan wilayah perdagangan dan pengaruh kekuasaan.[8]



[1] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017).

[2] Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo. Strategi Dakwah Islam di Nusantara,” J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52”

[3] Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo.”

[4] Camelia Nova, et al., Sejarah Kebudayaan Islam (Pada Masa Rasulullah Hingga Tersebarnya Islam Ke Nusantara) (Bekasi: Tarbiyah PAR 2 Fakultas Agama Islam, 2022).

[5] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

[6] Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar: 2000)

[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

[8] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

Daftar Pustaka

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017).

Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo. Strategi Dakwah Islam di Nusantara,” J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52”

Camelia Nova, et al., Sejarah Kebudayaan Islam (Pada Masa Rasulullah Hingga Tersebarnya Islam Ke Nusantara) (Bekasi: Tarbiyah PAR 2 Fakultas Agama Islam, 2022).

Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar: 2000)

Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda

 

Sumber: https://www.inews.id/news/nasional/5-kerajaan-islam-paling-tua-di-indonesia

1.     Kerajaan Islam Di Sumatera

Kerajaan Islam pertama di Sumatera didirikan pada abad ke13 di daerah Pasai, Aceh. Kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Samudra Pasai, yang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara dan berhasil menarik perhatian pedagang dari Arab, India, dan Tiongkok. Selain Pasai, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sumatera antara lain Kerajaan Darussalam, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Aceh, dan Kerajaan Indrapura. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke- XIII sampai dengan Abad ke- XX" oleh Abdul Haris Nasution, Kerajaan Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat dan mampu menguasai sebagian besar wilayah Sumatera. Selain itu, kerajaan Aceh juga dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Asia Tenggara.[1]

Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, diceritakan bahwa SultanMalik as-Shaleh sebelumnya adalah seorang kepala gampong (sebuah sistem pembagian wilayah administratif di Provinsi Aceh berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati) Samudera bernama Meurah Silu. Setelah menganut agama Islam, ia berganti nama menjadi Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan para Raja-Raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai: Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M); Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326); Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383); Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405); Sultanah Nahrisyah (1405-1412); Abu Zain Malik Zahir (1412); Mahmud Malik Zahir (1513-1524).[2]

 2.     Kerajaan Islam di Jawa

 

Kerajaan Islam pertama di Jawa didirikan pada abad ke-16 di daerah Demak. Kerajaan ini menjadi pusat Islamisasi di Jawa dan berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk pulau Jawa. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Jawa antara lain Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Yogyakarta. Menurut jurnal "Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta" oleh Andi Faisal Bakti, kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kesultanan yang meneruskan tradisi kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Jawa.[3]

Dahulu, Demak merupakan wilayah kadipaten atau kabupaten dari Kerajaan Majapahit. Namun usai kerajaan tersebut runtuh, Raden Patah yang merupakan anak dari Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang beragama Islam berinisiatif mendirikan Kerajaan Demak. Pada waktu itu, Raden Patah mendapatkan dukungan dari para bupati yang berkuasa di sekitar Demak. Setelah berhasil didirikan pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran Islam oleh Wali Songo di Pulau Jawa. Lalu setelah Raden Patah meninggal dunia, takhta kerajaan diberikan kepada putranya, Adipati Unus. Namun Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Sultan Trenggono. Disebutkan bahwa Sultan Trenggono mampu memperluas wilayah kekuasannya hingga hingga ke Jawa bagian timur dan barat. Tak berhenti di situ, ia juga berhasil mengusir Bangsa Portugis dari Jakarta. Sejak didirikan hingga runtuh, Kerajaan Demak telah berganti pemimpin selama lima kali. Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut adalah sebagai berikut.

1.     Raden Patah, memimpin sejak 1500 sampai 1518 M. 

2.     Adipati Unus, memimpin sejak 1518 sampai 1521 M. 

3.     Sultan Trenggono, memimpin sejak 1521 sampai 1546 M. 

4.     Sunan Prawoto, memimpin sejak 1546 sampai 1549 M. 

5.     Arya Penangsang, memimpin sejak 1549 sampai 1554 M.[4]

Berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang menyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju. Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal untuk menjadi seorang guru yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan ditambah nama daerahnya, seperti Sunan Gunung Jati.[5]

  3.     Kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan Islam pertama di Sulawesi didirikan pada abad ke16 di daerah Bone. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Sulawesi dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Selain Bone, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sulawesi antara lain Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan Kesultanan Buton. Menurut buku "Sejarah Sulawesi Selatan" oleh Andi Zainal Arifin, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Sulawesi. Kerajaan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Sulawesi.[6]

Proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan ditunjang dengan sistem pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja.[7]

  4.     Kerajaan Islam di Kalimantan

Kerajaan Muslim pertama di Kalimantan didirikan pada abad ke-19. Di daerah Banjarmasin. Kerajaan ini menjadi pusatnya Perdagangan di Kalimantan dan berhasil menguasai sebagiannya di wilayah yang luas di Kalimantan Selatan. Sebelah Banjarmasin kerajaan Islam lainnya yang muncul di Kalimantan antara lain Kerajaan Kutai, Kerajaan Bulungan dan Kesultanan Pontianak. Menurut buku “Sejarah Kerajaan Banjar”. Bambang Setyawan, Kerajaan Banjar, adalah salah satunya Kerajaan Muslim terbesar di Kalimantan. Kekaisaran ini berkembang pesat mempertahankan kekuasaannya meskipun gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan-pengetahuan dan seni Islam di Kalimantan.[8]

Kedatangan Islam di Kalimantan disebabkan oleh para da'i dari sana Sunan Bonang Jawa dan Sunan Giri memiliki murid Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri kapan Pria berusia 23 tahun itu melakukan perjalanan ke Kalimantan dengan seorang pengusaha Kamboja dinamai oleh Abu Hurairah, misionaris lain dari Jawa berasal dari Sayid Ngabdul Rahman alias Khatib Daiya Kediri. Perkembangan Islam mulai mantap setelah berdirinya Kerajaan Islam Banjar Masin di bawah Sultan Suriansyah, sehingga masjid dibangun hampir di setiap daerah Desa. Pada tahun 1710 M (tepatnya 13 Safaris 1122 H). Kerajaan Islam Banjar di bawah Sultan Tahmilah (1700-1748) lahir dari seorang ulama terkenal yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di desa tersebut Martapura Kalampayan. Sejak kecil ia dididik oleh sultan Tahmillah dan cukup besar untuk belajar di Mekkah selama kurang lebih 30 tahun. Oleh karena itu, pada gilirannya dikenal dengan kepekaan dan kedalamannya tidak hanya di Kalimantan dan Indonesia, tetapi bahkan luar negeri, terutama di Asia Tenggara. Syekh Muhammad Arsyad menulis banyak buku agama, Buku tersebut merupakan salah satu yang paling dikenal hingga saat ini Sahibul Muhtadin Sultan Tahmililah diangkat menjadi mufti Kerajaan Banjar yang agung. Syekh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan Pondok Pesantren di kampong Dalam Pagar yang sampai sekarang masih terkenal yaitu Pesantren Darussalam.[9]

5.     Kerajaan Islam di Maluku

Menurut M.S. Putuhena sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Masuknya Islam di Maluku (2012), masuknya Islam di Maluku Utara diperantarai oleh empat syekh dari Irak (Persia) pada abad ke-8 M. Keempat syekh tersebut yaitu Syekh Mansur yang mengajarkan Islam di Ternate dan Halmahera Muka. Syekh Yakub mengajarkan islam di Tidore dan Makian.Ssyekh Amin dan Syekh Umar mengajarkan Islam di Halmahera Belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Proses pengislaman dilakukan melalui jalur atas dan bawah. Jalur atas yang dimaksud adalah proses pengislaman melalui penguasa saat itu. Sedangkan jalur bawah adalah proses pengislaman melalui usaha perorangan di tengah masyarakat. Pada abad ke-15, raja Ternate (1465-1486) Kolano Kaicil Marhum telah memeluk Islam. Agama Islam kemudian terus menyebar dan dianut oleh berbagai lapisan masyarakat hingga kelembagaan kerajaan. Agenda islamisasi terus tumbuh dan semakin mapan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara. Kerajaan bercorak Islam yang ada di Maluku Utara yakni kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.[10]

Sistem birokrasi kerajaan Islam muncul sebagai bentuk organisasi administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa-penguasa Islam pada masa lalu. Sistem birokrasi ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pengaturan tugas-tugas pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Menurut buku "Sejarah Pemerintahan Islam" oleh Prof. Dr. Hamka, sistem birokrasi kerajaan Islam terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kepala pemerintahan (sultan atau raja), menteri-menteri atau pejabat-pejabat tinggi, dan jabatan-jabatan administratif. Setiap bagian memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain.[11]

Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia pada umumnya dibagi menjadi dua kelas yaitu kerajaan laut dan kerajaan dalam negeri atau pertanian. Birokrasi di kerajaan maritime harus melayani ekonomi bisnis, sementara kerajaan agraria berfokus pada ekonomi agraria. Kerajaan tradisional paling berpengaruh di Jawa termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam pada umumnya pertanian. Dalam membangun sistem politik yang bisa melakukan itu memastikan stabilitas sebagai prasyarat untuk pembangunan ekonomi, Langkah-langkah harus diambil untuk memperkuat birokrasi pemerintan sistem birokrasi modern yang efisien dan fungsional. Tapi itu perlu diketahui bahwa munculnya birokrasi modern jauh dari negara yang dulu penggunaan birokrasi tradisional.[12]

Kondisi sosial masyarakat yang ada di gampong (penduduk asli Banda Aceh), dimana masyarakatnya masih kental dengan sikap solidaritas antar sesama, dan setiap kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di gampong sangat berjalan dan dipelihara dengan baik. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti wirid ibu-ibu, gotong royong, takziah pada orang meninggal dan lain sebagainya. Kebudayaan di kota Banda Aceh masih ada dan dijaga sampai sekarang secara turun temurun serta adat istiadat yang terus dilestarikan dan peninggalan tersebut dijadikan sebagai objek wisata budaya seperti Museum Aceh, Masjid Raya Baiturrahman dan lain-lain. Dari beberapa peninggalan tersebut masyarakat dari dalam daerah maupun luar daerah bahkan wisatawan asing datang untuk mengunjungi serta mempelajari sejarah dari peninggalan tersebut. [13]


[1] Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)

[2] Universitas Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November 26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.

[3] Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).

[4] Inas Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023), https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.

[5] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”, Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[6] Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

[7] Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)

[8] Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

[9] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[10] Shulfi Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei 2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.

[11] Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).

[12] Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

[13] Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).

Daftar Pustaka

Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)

Universitas Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November 26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.

Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).

Inas Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023), https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.

Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)

Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

Shulfi Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei 2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.

Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).

Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

 

Sumber: https://intisari.grid.id/read/033271182/sejarah-kebudayaan-islam-di-indonesia-kedatangan-belanda-justru-membantu-penyebarannya?page=all

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Agama Islam sudah masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India sampai ke kepulauan Indonesia sejak abad ke-7. Para pedagang dalam menjalankan misi dakwahnya melalui pengajaran, aktualisasi ajaran Islam, sikap yang simpati diperlihatkan kepada masyarakat termasuk kelompok bangsawan.[1] Belanda datang ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Islam sangat ditakuti, karena kurangnya pengetahuan mereka yang tepat mengenai Islam, sehingga mula-mula Belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung.[2]

Pada saat Belanda memasuki Nusantara (1596) sudah mulai terasa akan kesulitan dalam menghadapi masyarakat Islam. Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanuddin di Makassar, perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh dan sebagainya. Di sisi lain Belanda sengaja mengembangkan pendidikan ala Barat yang bercorak sekuler yang digambarkan dapat membimbing masyarakat ketaraf hidup yang lebih baik, karena pendidikan Barat lebih baik dari pendidikan Timur. Hal inilah yang dijadikan kedok oleh kolonial Belanda untuk melancarkan politik penjajahannya.[3] Mereka juga menjalankan misi Kristenisasi. Namun dengan motivasi keimanan Islam, Belanda menghadapi perlawanan dari umat Islam. selama berabad-abad dan akhirnya Belanda mengangkat kaki dari bumi Nusantara tanpa berhasil mengkristenkan bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia yang cenderung mengakomodasi umat Islam, melapangkan jalan bagi bangkitnya kembali semangat pergerakan-pergerakan Islam dan nasionalis baik pergerakan politik ataupun pergerakan kemasyarakatan. Lewat para tokoh pergerakan inilah ide tentang dasar negara terbentuk dan akhirnya Indonesia berhasil memproklamirkan kemedekaannya dengan dasar Pancasila walaupun keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara tidak tercapai.[4]

Pada zaman revolusi merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Dalam rentang waktu diantara tahun 1945 hingga 1949, Indonesia mengalami suatu masa pergolakan politik yang amat besar. Dari sebuah koloni Belanda yang tertindas, Indonesia muncul dan menggertak dunia. Ketika ribuan serdadu Belanda datang dan bermaksud menguasai Indonesia kembali, orang orang Indonesia yang telah lelah tertindas, bangkit dan bergerak angkat senjata melawan serdadu-serdadu Belanda yang mereka anggap sebagai penjajah. Pergerakan ini meluas dan menjalar hingga seluruh pelosok negeri.[5]

Pada 10 Oktober 1945 belanda dan sekutunya telah menduduki Medan dan terjadi pertempuran pada tanggal 13 Desember 1945 hal ini dilakukan oleh Tentara Keamanan Rakyat. Pertempuran ini merupak pertempuran pertama yang dilakukan oleh pemuda di Medan dalam menghadapi Belanda dan sekutu.[6] Umat Islam selalu berada digaris terdepan dalam melawan penjajahan. Kita bisa melihat dari serangan kerajaan Demak Bintoro terhadap Portugis dalam merebut kembali selat Malaka. Sultan Agung yang harus melakukan penyerangan terhadap Jayakarta demi merebut dan mengusir penjajah. Pangeran Diponegoro dengan perang gerilyanya hingga menjadikan perang terbesar harus kalah dengan strategi licik dan pengecut bangsa penjajah. Kita semua sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia tak hanya umat Islam yang memperjuangkan. Tapi peran umat Islam dalam melawan dan memperjuangkan kemerdekaan sudah dimulai sejak kerajaan-kerajaan Islam. Bahkan berbagai bangsa Eropa yang datang di Nusantara dengan membawa tiga tujuan salah satunya adalah menyebarkan kekristenannya tak mampu mengubah keimanan umat Islam namun, yang terjadi semakin kuat keislamannya hingga mampu menjadikan bangsa Indonesia adalah terbesar penduduknya yang memeluk agama Islam.[7]

Mendasarkan pada konsep Pancasila, negara berkepentingan menjadikan rakyatnya beragama. Itulah sebabnya sekalipun negara ini bukan berdasarkan agama. Justru yang seharusnya dibangun adalah Pancasila memerlukan Islam, dan demikian pula agama-agama lainnya seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik dan lainnya. Berbagai jenis agama tersebut itu, dengan menganut falsafah Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, maka memiliki keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai jenis agama diakui dan dipersialahkan kepada umatnya menjalankan ajarannya masing-masing sebaik-baiknya.[8]



[1] Sushmihara, “Pendidikan Islam Pada Masa Belanda Dan Jepang,” Jurnal Rihlah 1 (2013): h. 108.

[2] Sushmihara, “Pendidikan Islam Pada Masa Belanda Dan Jepang,” h. 108.

[3] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan,” Dialektika 9 (2015): h. 58

[4] Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdekaan,” h. 69.

[5] Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1991). Hlm,317.

[6] Khoirul Anam, “Kilas Resolusi Jihad dan Pristiwa 10 Nopember”, http://www.nu.or.id/.

[7] Faiful Mukshani, “Peran Umat Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia.”

[8] 6 Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, “Islam Dan Pancasila,” Gema Media Informasi (June 1, 2015)

Daftar Pustaka

Sushmihara, “Pendidikan Islam Pada Masa Belanda Dan Jepang,” Jurnal Rihlah 1 (2013)

Duriana, “Islam Di Indonesia Sebelum Kemerdeaan,” Dialektika 9 (2015)

Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1991)

Khoirul Anam, “Kilas Resolusi Jihad dan Pristiwa 10 Nopember”, http://www.nu.or.id/.

Faiful Mukshani, “Peran Umat Islam Dalam Kemerdekaan Indonesia.”

Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, “Islam Dan Pancasila,” Gema Media Informasi (June 1, 2015)

Masuknya Islam Ke Indonesia

 

Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/28/100000779/mengapa-islam-mudah-diterima-di-indonesia-?page=all 

Di Indonesia terkenal dengan  penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam, budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak. Sejarah masuknya islam awalnya di bawa oleh pedagang Gujarat lalu di ikuti oleh pedagang arab dan Persia.  Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia. Banyak yang berspekulasi jika islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut terdapat perkampungan islam di sekitar selat Malaka. Selain pedagang ada juga dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh para walisongo.  Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan cara pendekatan sosial budaya. Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau jawa dengan  di temukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Di Mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno.  Di perkikan makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit. Di kalimantan, islam masuk melalui pontianak pada abad 18.  Di hulu sungai Pawan, kalimantan barat di temukan pemakaman islam kuno.  Di kalimantan timur islam masuk melalui kerajaan Kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kota Waringin yang di bangun pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.[1]

Berikut ada beberapa teori kedatangan Islam di Nusantara:  

1.Teori Gujarat dan Malabar

Teori Gujarat pada awalnya dikemukakan oleh Pijnappel yang mengaitkan kesamaan orang-orang Arab mazhab Syafi’i yang melakukan migrasi ke wilayah India kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benud India, muslim Deccan yang banyak bermukim di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu sebagai penyebar islam pertama. Baru kemudian oleh orang-orang Arab yang kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid atau syarif yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit asal wilayah yang dimaksudkan di wilayah India Selatan sebagai asal Islam tetapi hanya menyebut abad ke 12 sebagai periode paling awal yang memungkinkan bagi penyebaran Islam di Nusantara.[2]

2.Teori Bengal

Secara sederhana, teori ini adalah salah satu antitesis atau teori yang menyanggah dari teori Gujarat. Karena teori ini menyatakan jika tokoh-tokoh Samudera Pasai adalah keturunan Benggali, atau kini lebih dikenal dengan wilayah Bangladesh. Teori ini juga mengemukakan jika seluruh batu nisan dari era Samudera Pasai lebih mirip dengan batu nisan dari wilayah Bengal. Teori yang dipopulerkan oleh S.Q. Fatimi ini mengatakan jika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11. Teori ini juga mengkritisi tentang keberadaan batu nisan milik Siti Fatimah, yang bertuliskan 475/1082 di Leran, Jawa Timur. Selain batu nisan milik Siti Fatimah ini, tercatat ada batu nisan lain yang umurnya lebih tua dari batu nisan milik Sultan Malik Al-Saleh. Lokasi batu nisan itu sendiri terdapat di Fak-Fak dan Papua. Namun semua batu nisan itu belumlah terbukti secara empiris keberadaannya. Teori ini juga mempermasalahkan tentang perbedaan madzhab yang dianut oleh kedua pihak. Tercatat jika orang-orang di kawasan Bengal tempo hari menganut madzhab Hanafi. Sementara hingga kini, mayoritas masyarakat Indonesia masihlah menganut madzhab Syafi’i.[3]

3.Teori Arab

Teori Arab dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawford, Nieman, dan Hollander. Arnold mengemukakan bukti yang menjadikan argumentasi tentang kesamaan mazhab antara Arab dan Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i. Para pedagang Arab sejak abad 7 M telah menguasai perdagangan Barat-Timur. Arnold mengungkapkan bahwa menjelang perempat ketiga abad abad ke 7 seorang Arab telah menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka membentuk komunitas muslim dan melakukan assimilasi melalui perkawinan dengan penduduk setempat. Asumsi tersebut menurut Azyumardi lebih mungkin apabila mempertimbangkan fakta yang berasal dari sumber-sumber Cina bahwa menjelang akhir perempatan abad ke 7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas muslim yang terdiri dariorang-orang Arab pendatang dengan penduduk local, khususnya melalui perkawinan dengan wanita local. Arnold beranggapan anggotaanggota komunitas itu juga melakukan penyebaran agama Islam.[4]

4.Teori Persia

Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Persia, bukan India atau Arab. Teori ini didasarkan pada kesamaan unsur budaya Persia, khususnya Syiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara, khususnya di Indonesia dengan Persia.[5] Pembangun teori ini adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain: Pertama, peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah Saw. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya. Ketiga, penggunaan istilah Bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur’an. Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan G. E. Morrison. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar.[6]

5.Teori Cina

Teori ini berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Cina yaitu Kanton. Muslim kanton, Cina datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera pada abad ke 9 M. kedatangan mereka sebagai pengungsi akibat penumpasan yang dilakukan pada masa Huang Chouterhadap penduduk di kanton Selatan yang mayoritas muslim. Pada perkembangannya peranan bangsa Cina semakin nampak dengan ditemukannya berbagai artefak yang memiliki unsur-unsur Cina misalnya arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno semisal masjid Banten, Mustaka yang berbentuk bola dunia menyerupai stupa dengan dikelilingi empat ular yang hampir selalu ada di masjid-masjid kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah mempengaruhi arsitektur masjid-masjid yang didirikan kemudian. Oleh sebab itu dapat dipahami apabila pada abad ke 11 telah terdapat komunitas muslim Cina di Jawa yanag dibuktikan dengan adanya makam Islam dan kematramik Cina di situs Leran. Bukti lain berupa arsitektur mesjid Demak dan catatan sejarah menunjukkan bahwa beberapa sultan dan sunan yang memiliki peran dalam penyiaran Islam di Nusantara adalah berasal dari keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina, Jin Bun, demikian juga Sunan Ampel dan lain-lain.[7]

Strategi penyebaran islam di Indonesia, diantaranya:

1.     1Jalur perdagangan

2.    2.  Jalur dakwah bi al-hal yang dilakukan oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang

3.    3.  Jalur perkawinan

4.    4.  Jalur Pendidikan

5.     5. Jalur kultural

Munculnya aliran atau aliran yang berbeda dalam Islam tidak dapat dipisahkan situasi sosial politik dan dinamika berpikir dan pencarian kerohanian Perbedaan pemahaman antar aliran dapat menimbulkan konflik harus dipertimbangkan tidak hanya dari perspektif teologis, tetapi juga sosiologis Inilah faktor-faktor politik dalam sejarah pemikiran Islam awal dominan, terutama setelah wafatnya Nabi.[8]

Berikut aliran dan organisasi tersebut yang penulis rangkum dengan mengkelompokkan dari tingkat lokal, nasional, dan internasional. Di tingkat lokal beberapa aliran muncul dari tokoh lokal seperti:

1.  1. Paham Yusman Roy dari Pesantren itikaf dari Malang yang mengajarkan salat dengan membaca terjemahan bacaan.

2.    2Pengajian Nurul Yaqin di Tangerang yang gurunya mengaku berjumpa langsung dengan Tuhan lewat mikraj. Rumahnya dibakar massa.[9]

Sementara di level nasional beberapa contohnya seperti:

1.  1. Islam Jama’ah yang kemudian bertransformasi menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pernah diputuskan sesat dan dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1971 silam. Pada dasarnya ajaran mereka bersikap puritan: kembali ke al-Qur’ān dan Ḥadits. Namun, setelah berubah menjadi LDII dan menjalankan “paradigma baru” yang salah satu poinnya, “LDII bukan penerus ajaran Islam Jama’ah.”Lambat laun nama LDII memulihkan nama baiknya.

2.   2. Aliran al-Qiyādah al-Islāmiyyah pimpinan Ahmad Musaddeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi pada 23 Juli 2006 di Bogor. Setelah diganjar sesat oleh MUI, gerakan menjadi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang kembali mendapat label sesat pada 2016.[10]

Sementara di level internasional adalah beberapa ajaran dan kelompok yang lahir dan berkembang di berbagai daerah, lalu masuk ke Indonesia. Di antaranya:

1.    1Ahmadiyyah khusunya Qodliyan yang dianggap memiliki nabi selain Muḥammad yakni Mirza Gulam Ahmad sekaligus sebagai pendiri jamaah ini. Gerakan Ahmadiyyah lahir di Pakistan. Selain Qodliyan ada Ahmadiyyah Lahore.

2.     2. Syiʻah yang di Indonesia umumnya tergabung dalam IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Bait) dan ABI (Ahl Bait Indonesia). Secara eksplisit MUI memang tidak melabeli sesat tapi menegaskan untuk mewaspadainya. Namun, Syiʻah banyak memiliki haters terutama sejak konflik Syiʻah di Sampang, Madura pada tahun 2012 lalu. Syiʻah masih banyak dianggap sesat karena beberapa perbedaan terutama oleh Sunni Salafī, meskipun dalam beragam literatur klasik Islam menyatakan Syiʻah adalah bagian dari mazhab Islam, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.[11]

Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit. Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan sinkritisme.[12]

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat laun, dan sangat beragam. Dan dalam perkembangan selanjutnya bermunculan banyak kerajaan-kerajaan islam di Indonesia seperti samudera pasai dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.



[1] IAIN Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016), http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.

[2] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[3] Salsabiila Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke Indonesia,” Cairo Food (March 9, 2021), https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.

[4] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[5] Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

[6] Lukmanul Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June 4, 2018): h. 10.

[7] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[8] Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia

[9] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, LAW, AND SOCIETY (INCOILS) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[10] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[11] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[12] Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Daftar Pustaka

Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

IAIN Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016), http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.

Lukmanul Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June 4, 2018): h. 10.

Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference on Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Salsabiila Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke Indonesia,” Cairo Food (March 9, 2021), https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.

Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia