Selasa, 06 Juni 2023

Masuknya Islam Ke Indonesia

 

Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/28/100000779/mengapa-islam-mudah-diterima-di-indonesia-?page=all 

Di Indonesia terkenal dengan  penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam, budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak. Sejarah masuknya islam awalnya di bawa oleh pedagang Gujarat lalu di ikuti oleh pedagang arab dan Persia.  Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia. Banyak yang berspekulasi jika islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut terdapat perkampungan islam di sekitar selat Malaka. Selain pedagang ada juga dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh para walisongo.  Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan cara pendekatan sosial budaya. Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau jawa dengan  di temukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Di Mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno.  Di perkikan makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit. Di kalimantan, islam masuk melalui pontianak pada abad 18.  Di hulu sungai Pawan, kalimantan barat di temukan pemakaman islam kuno.  Di kalimantan timur islam masuk melalui kerajaan Kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kota Waringin yang di bangun pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.[1]

Berikut ada beberapa teori kedatangan Islam di Nusantara:  

1.Teori Gujarat dan Malabar

Teori Gujarat pada awalnya dikemukakan oleh Pijnappel yang mengaitkan kesamaan orang-orang Arab mazhab Syafi’i yang melakukan migrasi ke wilayah India kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benud India, muslim Deccan yang banyak bermukim di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu sebagai penyebar islam pertama. Baru kemudian oleh orang-orang Arab yang kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid atau syarif yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Hurgronje tidak menyebut secara eksplisit asal wilayah yang dimaksudkan di wilayah India Selatan sebagai asal Islam tetapi hanya menyebut abad ke 12 sebagai periode paling awal yang memungkinkan bagi penyebaran Islam di Nusantara.[2]

2.Teori Bengal

Secara sederhana, teori ini adalah salah satu antitesis atau teori yang menyanggah dari teori Gujarat. Karena teori ini menyatakan jika tokoh-tokoh Samudera Pasai adalah keturunan Benggali, atau kini lebih dikenal dengan wilayah Bangladesh. Teori ini juga mengemukakan jika seluruh batu nisan dari era Samudera Pasai lebih mirip dengan batu nisan dari wilayah Bengal. Teori yang dipopulerkan oleh S.Q. Fatimi ini mengatakan jika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11. Teori ini juga mengkritisi tentang keberadaan batu nisan milik Siti Fatimah, yang bertuliskan 475/1082 di Leran, Jawa Timur. Selain batu nisan milik Siti Fatimah ini, tercatat ada batu nisan lain yang umurnya lebih tua dari batu nisan milik Sultan Malik Al-Saleh. Lokasi batu nisan itu sendiri terdapat di Fak-Fak dan Papua. Namun semua batu nisan itu belumlah terbukti secara empiris keberadaannya. Teori ini juga mempermasalahkan tentang perbedaan madzhab yang dianut oleh kedua pihak. Tercatat jika orang-orang di kawasan Bengal tempo hari menganut madzhab Hanafi. Sementara hingga kini, mayoritas masyarakat Indonesia masihlah menganut madzhab Syafi’i.[3]

3.Teori Arab

Teori Arab dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawford, Nieman, dan Hollander. Arnold mengemukakan bukti yang menjadikan argumentasi tentang kesamaan mazhab antara Arab dan Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i. Para pedagang Arab sejak abad 7 M telah menguasai perdagangan Barat-Timur. Arnold mengungkapkan bahwa menjelang perempat ketiga abad abad ke 7 seorang Arab telah menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka membentuk komunitas muslim dan melakukan assimilasi melalui perkawinan dengan penduduk setempat. Asumsi tersebut menurut Azyumardi lebih mungkin apabila mempertimbangkan fakta yang berasal dari sumber-sumber Cina bahwa menjelang akhir perempatan abad ke 7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas muslim yang terdiri dariorang-orang Arab pendatang dengan penduduk local, khususnya melalui perkawinan dengan wanita local. Arnold beranggapan anggotaanggota komunitas itu juga melakukan penyebaran agama Islam.[4]

4.Teori Persia

Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Persia, bukan India atau Arab. Teori ini didasarkan pada kesamaan unsur budaya Persia, khususnya Syiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara, khususnya di Indonesia dengan Persia.[5] Pembangun teori ini adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain: Pertama, peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah Saw. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya. Ketiga, penggunaan istilah Bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur’an. Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan G. E. Morrison. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar.[6]

5.Teori Cina

Teori ini berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Cina yaitu Kanton. Muslim kanton, Cina datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera pada abad ke 9 M. kedatangan mereka sebagai pengungsi akibat penumpasan yang dilakukan pada masa Huang Chouterhadap penduduk di kanton Selatan yang mayoritas muslim. Pada perkembangannya peranan bangsa Cina semakin nampak dengan ditemukannya berbagai artefak yang memiliki unsur-unsur Cina misalnya arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno semisal masjid Banten, Mustaka yang berbentuk bola dunia menyerupai stupa dengan dikelilingi empat ular yang hampir selalu ada di masjid-masjid kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah mempengaruhi arsitektur masjid-masjid yang didirikan kemudian. Oleh sebab itu dapat dipahami apabila pada abad ke 11 telah terdapat komunitas muslim Cina di Jawa yanag dibuktikan dengan adanya makam Islam dan kematramik Cina di situs Leran. Bukti lain berupa arsitektur mesjid Demak dan catatan sejarah menunjukkan bahwa beberapa sultan dan sunan yang memiliki peran dalam penyiaran Islam di Nusantara adalah berasal dari keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina, Jin Bun, demikian juga Sunan Ampel dan lain-lain.[7]

Strategi penyebaran islam di Indonesia, diantaranya:

1.     1Jalur perdagangan

2.    2.  Jalur dakwah bi al-hal yang dilakukan oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang

3.    3.  Jalur perkawinan

4.    4.  Jalur Pendidikan

5.     5. Jalur kultural

Munculnya aliran atau aliran yang berbeda dalam Islam tidak dapat dipisahkan situasi sosial politik dan dinamika berpikir dan pencarian kerohanian Perbedaan pemahaman antar aliran dapat menimbulkan konflik harus dipertimbangkan tidak hanya dari perspektif teologis, tetapi juga sosiologis Inilah faktor-faktor politik dalam sejarah pemikiran Islam awal dominan, terutama setelah wafatnya Nabi.[8]

Berikut aliran dan organisasi tersebut yang penulis rangkum dengan mengkelompokkan dari tingkat lokal, nasional, dan internasional. Di tingkat lokal beberapa aliran muncul dari tokoh lokal seperti:

1.  1. Paham Yusman Roy dari Pesantren itikaf dari Malang yang mengajarkan salat dengan membaca terjemahan bacaan.

2.    2Pengajian Nurul Yaqin di Tangerang yang gurunya mengaku berjumpa langsung dengan Tuhan lewat mikraj. Rumahnya dibakar massa.[9]

Sementara di level nasional beberapa contohnya seperti:

1.  1. Islam Jama’ah yang kemudian bertransformasi menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pernah diputuskan sesat dan dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1971 silam. Pada dasarnya ajaran mereka bersikap puritan: kembali ke al-Qur’ān dan Ḥadits. Namun, setelah berubah menjadi LDII dan menjalankan “paradigma baru” yang salah satu poinnya, “LDII bukan penerus ajaran Islam Jama’ah.”Lambat laun nama LDII memulihkan nama baiknya.

2.   2. Aliran al-Qiyādah al-Islāmiyyah pimpinan Ahmad Musaddeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi pada 23 Juli 2006 di Bogor. Setelah diganjar sesat oleh MUI, gerakan menjadi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang kembali mendapat label sesat pada 2016.[10]

Sementara di level internasional adalah beberapa ajaran dan kelompok yang lahir dan berkembang di berbagai daerah, lalu masuk ke Indonesia. Di antaranya:

1.    1Ahmadiyyah khusunya Qodliyan yang dianggap memiliki nabi selain Muḥammad yakni Mirza Gulam Ahmad sekaligus sebagai pendiri jamaah ini. Gerakan Ahmadiyyah lahir di Pakistan. Selain Qodliyan ada Ahmadiyyah Lahore.

2.     2. Syiʻah yang di Indonesia umumnya tergabung dalam IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Bait) dan ABI (Ahl Bait Indonesia). Secara eksplisit MUI memang tidak melabeli sesat tapi menegaskan untuk mewaspadainya. Namun, Syiʻah banyak memiliki haters terutama sejak konflik Syiʻah di Sampang, Madura pada tahun 2012 lalu. Syiʻah masih banyak dianggap sesat karena beberapa perbedaan terutama oleh Sunni Salafī, meskipun dalam beragam literatur klasik Islam menyatakan Syiʻah adalah bagian dari mazhab Islam, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.[11]

Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit. Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam, tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan sinkritisme.[12]

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat laun, dan sangat beragam. Dan dalam perkembangan selanjutnya bermunculan banyak kerajaan-kerajaan islam di Indonesia seperti samudera pasai dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.



[1] IAIN Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016), http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.

[2] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[3] Salsabiila Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke Indonesia,” Cairo Food (March 9, 2021), https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.

[4] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[5] Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

[6] Lukmanul Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June 4, 2018): h. 10.

[7] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

[8] Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia

[9] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, LAW, AND SOCIETY (INCOILS) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[10] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[11] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

[12] Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Daftar Pustaka

Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.

IAIN Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016), http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.

Lukmanul Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June 4, 2018): h. 10.

Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference on Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.

Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).

Salsabiila Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke Indonesia,” Cairo Food (March 9, 2021), https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.

Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).

Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia

 


0 komentar:

Posting Komentar