Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/28/100000779/mengapa-islam-mudah-diterima-di-indonesia-?page=all
Di
Indonesia terkenal dengan penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam,
budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak. Sejarah
masuknya islam awalnya di bawa oleh pedagang Gujarat lalu di ikuti oleh
pedagang arab dan Persia. Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam
ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia. Banyak yang berspekulasi jika
islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut
terdapat perkampungan islam di sekitar selat Malaka. Selain pedagang ada juga
dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh
para walisongo.
Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan
cara pendekatan sosial budaya. Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau
jawa dengan di temukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Di
Mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno. Di perkikan
makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit. Di kalimantan, islam
masuk melalui pontianak pada abad 18. Di hulu sungai Pawan, kalimantan
barat di temukan pemakaman islam kuno. Di kalimantan timur islam masuk
melalui kerajaan Kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari
kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kota Waringin yang di bangun
pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat
Gowa-Tallo.[1]
Berikut ada beberapa teori
kedatangan Islam di Nusantara:
1.Teori Gujarat dan Malabar
Teori Gujarat pada awalnya
dikemukakan oleh Pijnappel yang mengaitkan kesamaan orang-orang Arab mazhab
Syafi’i yang melakukan migrasi ke wilayah India kemudian membawa Islam ke
Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang
menyatakan begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benud
India, muslim Deccan yang banyak bermukim di sana sebagai pedagang perantara
dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu sebagai
penyebar islam pertama. Baru kemudian oleh orang-orang Arab yang kebanyakan keturunan
Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid atau syarif yang
menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Hurgronje tidak menyebut secara
eksplisit asal wilayah yang dimaksudkan di wilayah India Selatan sebagai asal
Islam tetapi hanya menyebut abad ke 12 sebagai periode paling awal yang
memungkinkan bagi penyebaran Islam di Nusantara.[2]
2.Teori Bengal
Secara sederhana, teori ini adalah salah
satu antitesis atau teori yang menyanggah dari teori Gujarat. Karena teori ini
menyatakan jika tokoh-tokoh Samudera Pasai adalah keturunan Benggali, atau kini
lebih dikenal dengan wilayah Bangladesh. Teori ini juga mengemukakan jika
seluruh batu nisan dari era Samudera Pasai lebih mirip dengan batu nisan dari
wilayah Bengal. Teori yang dipopulerkan oleh S.Q. Fatimi ini mengatakan jika
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11. Teori ini juga mengkritisi tentang
keberadaan batu nisan milik Siti Fatimah, yang bertuliskan 475/1082 di Leran,
Jawa Timur. Selain batu nisan milik Siti Fatimah ini, tercatat ada batu nisan
lain yang umurnya lebih tua dari batu nisan milik Sultan Malik Al-Saleh. Lokasi
batu nisan itu sendiri terdapat di Fak-Fak dan Papua. Namun semua batu nisan
itu belumlah terbukti secara empiris keberadaannya. Teori ini juga
mempermasalahkan tentang perbedaan madzhab yang dianut oleh kedua pihak.
Tercatat jika orang-orang di kawasan Bengal tempo hari menganut madzhab Hanafi.
Sementara hingga kini, mayoritas masyarakat Indonesia masihlah menganut madzhab
Syafi’i.[3]
3.Teori Arab
Teori Arab dikemukakan oleh
Sir Thomas Arnold, Crawford, Nieman, dan Hollander. Arnold mengemukakan bukti
yang menjadikan argumentasi tentang kesamaan mazhab antara Arab dan Nusantara,
yaitu mazhab Syafi’i. Para pedagang Arab sejak abad 7 M telah menguasai
perdagangan Barat-Timur. Arnold mengungkapkan bahwa menjelang perempat ketiga
abad abad ke 7 seorang Arab telah menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di
pesisir barat Sumatera. Mereka membentuk komunitas muslim dan melakukan
assimilasi melalui perkawinan dengan penduduk setempat. Asumsi tersebut menurut
Azyumardi lebih mungkin apabila mempertimbangkan fakta yang berasal dari
sumber-sumber Cina bahwa menjelang akhir perempatan abad ke 7 seorang pedagang
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.
Sebagian orang-orang Arab ini kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas
muslim yang terdiri dariorang-orang Arab pendatang dengan penduduk local, khususnya
melalui perkawinan dengan wanita local. Arnold beranggapan anggotaanggota
komunitas itu juga melakukan penyebaran agama Islam.[4]
4.Teori Persia
Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal
dari Persia, bukan India atau Arab. Teori ini didasarkan pada kesamaan unsur
budaya Persia, khususnya Syiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara,
khususnya di Indonesia dengan Persia.[5] Pembangun
teori ini adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini
tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan
Mekkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab
Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan
yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai
persamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat
Islam Indonesia antara lain: Pertama, peringatan 10 Muharam yang
dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah
Saw. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar
dengan ajaran Sufi Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya. Ketiga,
penggunaan istilah Bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda
bunyi harakat dalam pengajian al-Qur’an. Keempat, nisan pada makam
Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari
Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori
Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan G. E. Morrison. Kelima,
pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang
paling utama di daerah Malabar.[6]
5.Teori Cina
Teori ini berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Cina
yaitu Kanton. Muslim kanton, Cina datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera
pada abad ke 9 M. kedatangan mereka sebagai pengungsi akibat penumpasan yang
dilakukan pada masa Huang Chouterhadap penduduk di kanton Selatan yang
mayoritas muslim. Pada perkembangannya peranan bangsa Cina semakin nampak
dengan ditemukannya berbagai artefak yang memiliki unsur-unsur Cina misalnya
arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno semisal masjid Banten, Mustaka yang
berbentuk bola dunia menyerupai stupa dengan dikelilingi empat ular yang hampir
selalu ada di masjid-masjid kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah
mempengaruhi arsitektur masjid-masjid yang didirikan kemudian. Oleh sebab itu
dapat dipahami apabila pada abad ke 11 telah terdapat komunitas muslim Cina di
Jawa yanag dibuktikan dengan adanya makam Islam dan kematramik Cina di situs Leran.
Bukti lain berupa arsitektur mesjid Demak dan catatan sejarah menunjukkan bahwa
beberapa sultan dan sunan yang memiliki peran dalam penyiaran Islam di
Nusantara adalah berasal dari keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang
mempunyai nama Cina, Jin Bun, demikian juga Sunan Ampel dan lain-lain.[7]
Strategi penyebaran islam di Indonesia, diantaranya:
1. 1. Jalur
perdagangan
2. 2. Jalur
dakwah bi al-hal yang dilakukan oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi
pedagang
3. 3. Jalur
perkawinan
4. 4. Jalur
Pendidikan
5. 5. Jalur
kultural
Munculnya aliran atau aliran yang berbeda dalam Islam tidak dapat
dipisahkan situasi sosial politik dan dinamika berpikir dan pencarian kerohanian
Perbedaan pemahaman antar aliran dapat menimbulkan konflik harus
dipertimbangkan tidak hanya dari perspektif teologis, tetapi juga sosiologis
Inilah faktor-faktor politik dalam sejarah pemikiran Islam awal dominan,
terutama setelah wafatnya Nabi.[8]
Berikut
aliran dan organisasi tersebut yang penulis rangkum dengan mengkelompokkan dari
tingkat lokal, nasional, dan internasional. Di tingkat lokal beberapa aliran
muncul dari tokoh lokal seperti:
1. 1. Paham Yusman Roy dari Pesantren itikaf
dari Malang yang mengajarkan salat dengan membaca terjemahan bacaan.
2. 2. Pengajian Nurul Yaqin di
Tangerang yang gurunya mengaku berjumpa langsung dengan Tuhan lewat mikraj.
Rumahnya dibakar massa.[9]
Sementara di level nasional
beberapa contohnya seperti:
1. 1. Islam Jama’ah yang kemudian
bertransformasi menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pernah diputuskan
sesat dan dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1971 silam. Pada dasarnya ajaran
mereka bersikap puritan: kembali ke al-Qur’ān dan Ḥadits. Namun, setelah
berubah menjadi LDII dan menjalankan “paradigma baru” yang salah satu poinnya,
“LDII bukan penerus ajaran Islam Jama’ah.”Lambat laun nama LDII memulihkan nama
baiknya.
2. 2. Aliran al-Qiyādah
al-Islāmiyyah pimpinan Ahmad Musaddeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi pada
23 Juli 2006 di Bogor. Setelah diganjar sesat oleh MUI, gerakan menjadi Gafatar
(Gerakan Fajar Nusantara) yang kembali mendapat label sesat pada 2016.[10]
Sementara di level
internasional adalah beberapa ajaran dan kelompok yang lahir dan berkembang di
berbagai daerah, lalu masuk ke Indonesia. Di antaranya:
1. 1. Ahmadiyyah khusunya Qodliyan yang
dianggap memiliki nabi selain Muḥammad yakni Mirza Gulam Ahmad sekaligus
sebagai pendiri jamaah ini. Gerakan Ahmadiyyah lahir di Pakistan. Selain
Qodliyan ada Ahmadiyyah Lahore.
2. 2. Syiʻah yang di Indonesia
umumnya tergabung dalam IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Bait) dan ABI (Ahl Bait
Indonesia). Secara eksplisit MUI memang tidak melabeli sesat tapi menegaskan
untuk mewaspadainya. Namun, Syiʻah banyak memiliki haters terutama sejak konflik
Syiʻah di Sampang, Madura pada tahun 2012 lalu. Syiʻah masih banyak dianggap
sesat karena beberapa perbedaan terutama oleh Sunni Salafī, meskipun dalam
beragam literatur klasik Islam menyatakan Syiʻah adalah bagian dari mazhab
Islam, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.[11]
Sebelum
Islam datang ke Indonesia, di Nusantara (Indonesia) telah berdiri
kerajaan-kerjaan yang bercorak Hinduisme dan Budhisme. Seperti kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi setelah proses islamisasi dimulai sejak
abad ke XIII, unsur agama Islam sangat memegang peranan penting dalam membangun
jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan
pedalaman yang masih bercorak Hindu-Budha. Misalnya di daerah pesisir utara
Jawa, kerajaan-kerajaan yang berdiri umumnya diperintah oleh pangeran-pangeran
saudagar. Mereka takluk kepada raja Majapahit. Tetapi setelah raja-raja
setempat memeluk agama Islam, maka mereka menggunakan Islam sebagai senjata
politik dan ekonomi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan Majapahit.
Setelah runtuhnya Majapahit 1520 M; di daerah pesisir proses Islamisasi
berjalan sangat intensif hingga akhirnya berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
seperti, Demak, Banten dan Cirebon. Namun dalam segi pemahaman aqidah Islam,
tidak serta merta mantap, dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti
Hindu dan Budha. Mereka memang mengucapkan kalimat Syahadat, akan tetapi kenang-kenangan
dan praktik-praktik kepada kepercayaan kepada Bata Guru, Batara Wisnu, Dewata
Sewwa’E , dan lain masih tetap hidup. Disinilah muncul kecenderungan
sinkritisme.[12]
Proses
masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat,
dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat laun, dan sangat beragam. Dan dalam
perkembangan selanjutnya bermunculan banyak kerajaan-kerajaan islam di
Indonesia seperti samudera pasai dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.
[1] IAIN Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016),
http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.
[2] Sirojudin
Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2
(2018).
[3] Salsabiila Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke
Indonesia,” Cairo Food (March 9, 2021),
https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.
[4] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).
[5] Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.
[6] Lukmanul Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June 4, 2018): h. 10.
[7] Sirojudin Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2 (2018).
[8] Sevenlight, “Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id (blog), diakses 4 April 2023, https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia
[9] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, LAW, AND SOCIETY (INCOILS) 2021 1, no. 1 (2022): 5.
[10] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.
[11] Moh Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,” International Conference On Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1 (2022): 5.
[12] Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2 (2017).
Daftar
Pustaka
Faizal
Amin and Rifki Abror Ananda, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara:
Telaah Teoritik tentang Proses Islamisasi Nusantara,” Analisis: Jurnal Studi
Keislaman 18, no. 2 (March 1, 2019): 67–100.
IAIN
Salatiga, “Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia” (Mei 2016),
http://pgmi.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/sejarah-masuknya-islam-di-indonesia/.
Lukmanul
Hakim, “DARI PERSIA HINGGA CINA: Diskursus Tentang Teori Kedatangan Islam Di
Melayu Nusantara,” Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam (June
4, 2018): h. 10.
Moh
Ariful Anam, “Kemunculan Aliran Islam Dan Prospek Pluralisme Di Indonesia,”
International Conference on Islam, Law, And Society (Incoils) 2021 1, no. 1
(2022): 5.
Muhammad
Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,” Stain ParePare 11, no. 2
(2017).
Salsabiila
Raudhatul Jannah, “Berikut 7 Teori Masuknya Islam Ke Indonesia,” Cairo
Food (March 9, 2021),
https://cairofood.id/7-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/.
Sirojudin
Mursan, “Teori Kedatangan Islam Dan Proses Islamisasi Di Nusantara” 13, no. 2
(2018).
Sevenlight,
“Membingkai Aliran-Aliran Islam Di Indonesia,” Blasemarang.Kemenag.Go.Id
(blog), diakses 4 April 2023,
https://blasemarang.kemenag.go.id/berita/membingkai-aliran[8]aliran-islam-di-indonesia
0 komentar:
Posting Komentar