Sumber: https://intisari.grid.id/read/033242834/sejarah-peradaban-islam-dari-periode-klasik-pertengahan-hingga-modern?page=all
Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban
yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya.
Kemunduran progresif kerajaan utsmani yang merupakan pemangku khilafah islam,
setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan islam di kalangan
warga arab dipinggiran imperium itu. Gerakan yang lahir di timur tengah itu
telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di minamgkabau, yang
disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di
Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi
social keagamaan, seperti sarekat dagang Islam (SDI) di bogor dan solo dan lain
sebagainya.[1]
Periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20,
yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode ini ditandai
oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari
cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara
Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Selain
itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari lanskap demografi
negara-negara Barat.
a)
Masa
kolonial belanda Nasional dalam pengertian politik, baru muncul setelah H.
Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912 kepada HOS
Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memeperluas ruang
geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada
periode pertama adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari
berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideology bangsa
memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideology
mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.
b)
Masa
pendudukan jepang Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan
mendapatkan dayanya kembali setelah jepang datang menggantikan posisi belanda.
Jepang berusaha mengkomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis secular,
ketimbang pimpinan traditional (maksudnya raja dan bangsawan lama). Jepang
berpendapat, organisasi-organisasi islamiah yang sebenarnya mempunyai masa yang
patuh dan hanya dengan 5 pendekatan agama, penduduk Indonesia ini dapat
dimobolisasi. Oleh karena itu, kalau organisasi non-keagamaan dibubarkan,
organisasi[1]organisasi
besar islam seperti Muhammadiyah, NU, dan kemudian persyarikatan Ulama
(majalengka), juga majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian di
lanjutkan dengan majelis syuro’ muslim Indonesia (MASYUMI) di perkenankan
kembali meneruskan kegiatannya.[2]
Pemikiran politik modern di dunia Islam tumbuh dan berkembang sejak
negara-negara dunia Islam bersentuhan dengan dunia Barat, terutama sejak jatuh
ke dalam imperialisme Barat. Munawir Sjadzali (1993:115) mencatat, ada tiga hal
yang melatarbelakangi pemikiran Islam kontemporer, yang mulai muncul pada waktu
menjelang akhir abad ke-19 M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia
Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya
gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat
terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir
dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar
wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik
antara dunia Islam dan Barat, sehingga berkembangnya di kalangan umat Islam
semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam
bidang ilmu, teknologi dan organisasi.[3]
Menurut William E.Sephard konsep politik Islam melahirkan paradigma
tipologi pada politik Islam. Paradigma tersebut lahir berdasarkan pendekatan
dan respon atas pengaruh Barat dan metode Ijtihad. Berikut tiga paradigma yang
terbentuk: Pertama, Paradigma Integralistik (Unifed Paradigm) politik menyatu
dengan agama. Persepsi itu menjelaskan bahwa agama memberikan corak dominan
atas negara. Kedua, Paradigma Simbiotik (Symbiotic paradigm) hubungan antara
politik dan agama saling bertimbal balik, sistem yang menyeimbang kedua hal
tersebut agar harmoni. Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistyc Paradigm)
tidak ada hubungannya antara politik dan agama, sehingga politik dan agama
tidak dapat dijadikan satu hal ini dikarenakan titik fokus yang berbeda.[4]
Hubungan Islam dengan budaya lokal l dua hal yang hidup secara
bersama tanpa ada pertentangan dan kebuayaan Islam adalah kebudayaan yang di
dasari oleh ajaran Islam akan tetapi tidak melepaskan produk lokalnya. Di mana
sifat ajaran agama Islam yang fleksibel yang selalu menyesuaikan diri dengan
keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi relasi Islam dengan kebudayaan tidak
memiliki rintangan jikalau tidak selektif, akan terjadi kehawatiran karena
tercampur baurnya kebudayaan dengan ajaran Islam sehingga ajaran Islam tidak
lagi murni. Dikerenakan Islam di dominasi dengan kebudayaan. Dampak dari hal
orang akan menganggap agama hanya akan menjadi obat di kala kesusahan dan
menjadikan agama tak bermakna dikala kesenangan.[5]
Perkembangan pemikiran para
intelektual Islam yaitu salah satunya, Menurut Ibn Taimiyyah
bahwa ijtihad adalah hak mutlak bagi mereka yang mampu dan sudah terjangkau
kapasitas intrlrktual manusia. Ajaran Ibn Taimiyyah yang paling pokok adalah
mensucikan kaidah Islam sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw., dengan semboyan “kembali” kepada Qur’an dab Hadits. Oleh karena itu,
semua yang mneyimpang dari garis al-Qur’an dan Sunnah diserangnya dengan
berani. Dia juga menyerang kaum filsafat, seperti Ibnu Sina dan Ibnu al-Arabi,
dan 14 menyerang kaum sufi dan mutakalimin yang dipandangnya muncul dari lembah
yang sama. Imam al-Gazali pun tidak luput dari kecamannya larna menurut
penelitiannya dua kitabnya yang terkenal Al-Munqiz Minadholaal dan Ihyaa
Ulumuddin berisikan hadits yang tak sah (palsu). Pemikiran dan ajaran-ajaran Ibnu
Taimiyyah dan Wahhabi dapat menyebar ke Nusantara melalui beberapa tokoh
setelah kembali dari belajar di Haramain. Misalnya, pada tahun 1802 tiga orang
haji pribumi kembali kembali dari Mekkah ke kampung halaman mereka di wilayah
Minangkabau. Mereka adalah Hadji Miskin, Hadji Muhammad Arif, dan Hadji
Abdurrahman yang tampaknya sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Gerakan
Wahabi di Jazirah Arab. Mereka membawa gagsan-gagasan yang sama ke wilayah ke
wilayah mereka masing masing Tindakan ini disusul dengan penaklukan setiap
negari kira-kira secara sistematik satu demi satu dimana mereka menerapkan
secara ketat hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[6]
Daftar
Pustaka
Ahmad
Didi Riyadi, Feni Andri Mulyani, dan Ismi Rohimatun Ni’mah, “Modern Kontemporer
Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer,” Religion: Jurnal
Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (16 April 2023): h.31,
https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90
Amin
Mudzakkir, “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer,” Epistemé: Jurnal
Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): h. 35,
https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.
Abdul
Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1
(2012).
Ahmad
Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum
Sakatiga Indralaya
Eka
Putri Apliria, “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana
Media,” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020
Miftahuddin,
Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia (Yogyakarta: UNY Press,
2017)
0 komentar:
Posting Komentar