Selasa, 06 Juni 2023

Peradaban Islam Di Indonesia

 

Sumber: https://intisari.grid.id/read/033242834/sejarah-peradaban-islam-dari-periode-klasik-pertengahan-hingga-modern?page=all

Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan utsmani yang merupakan pemangku khilafah islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan islam di kalangan warga arab dipinggiran imperium itu. Gerakan yang lahir di timur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di minamgkabau, yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi social keagamaan, seperti sarekat dagang Islam (SDI) di bogor dan solo dan lain sebagainya.[1]

Periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari lanskap demografi negara-negara Barat.

a)     Masa kolonial belanda Nasional dalam pengertian politik, baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memeperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada periode pertama adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideology bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideology mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.

b)    Masa pendudukan jepang Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapatkan dayanya kembali setelah jepang datang menggantikan posisi belanda. Jepang berusaha mengkomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis secular, ketimbang pimpinan traditional (maksudnya raja dan bangsawan lama). Jepang berpendapat, organisasi-organisasi islamiah yang sebenarnya mempunyai masa yang patuh dan hanya dengan 5 pendekatan agama, penduduk Indonesia ini dapat dimobolisasi. Oleh karena itu, kalau organisasi non-keagamaan dibubarkan, organisasi[1]organisasi besar islam seperti Muhammadiyah, NU, dan kemudian persyarikatan Ulama (majalengka), juga majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang kemudian di lanjutkan dengan majelis syuro’ muslim Indonesia (MASYUMI) di perkenankan kembali meneruskan kegiatannya.[2]

Pemikiran politik modern di dunia Islam tumbuh dan berkembang sejak negara-negara dunia Islam bersentuhan dengan dunia Barat, terutama sejak jatuh ke dalam imperialisme Barat. Munawir Sjadzali (1993:115) mencatat, ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam kontemporer, yang mulai muncul pada waktu menjelang akhir abad ke-19 M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, sehingga berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.[3]

Menurut William E.Sephard konsep politik Islam melahirkan paradigma tipologi pada politik Islam. Paradigma tersebut lahir berdasarkan pendekatan dan respon atas pengaruh Barat dan metode Ijtihad. Berikut tiga paradigma yang terbentuk: Pertama, Paradigma Integralistik (Unifed Paradigm) politik menyatu dengan agama. Persepsi itu menjelaskan bahwa agama memberikan corak dominan atas negara. Kedua, Paradigma Simbiotik (Symbiotic paradigm) hubungan antara politik dan agama saling bertimbal balik, sistem yang menyeimbang kedua hal tersebut agar harmoni. Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistyc Paradigm) tidak ada hubungannya antara politik dan agama, sehingga politik dan agama tidak dapat dijadikan satu hal ini dikarenakan titik fokus yang berbeda.[4]

Hubungan Islam dengan budaya lokal l dua hal yang hidup secara bersama tanpa ada pertentangan dan kebuayaan Islam adalah kebudayaan yang di dasari oleh ajaran Islam akan tetapi tidak melepaskan produk lokalnya. Di mana sifat ajaran agama Islam yang fleksibel yang selalu menyesuaikan diri dengan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi relasi Islam dengan kebudayaan tidak memiliki rintangan jikalau tidak selektif, akan terjadi kehawatiran karena tercampur baurnya kebudayaan dengan ajaran Islam sehingga ajaran Islam tidak lagi murni. Dikerenakan Islam di dominasi dengan kebudayaan. Dampak dari hal orang akan menganggap agama hanya akan menjadi obat di kala kesusahan dan menjadikan agama tak bermakna dikala kesenangan.[5]

Perkembangan pemikiran para intelektual Islam yaitu salah satunya, Menurut Ibn Taimiyyah bahwa ijtihad adalah hak mutlak bagi mereka yang mampu dan sudah terjangkau kapasitas intrlrktual manusia. Ajaran Ibn Taimiyyah yang paling pokok adalah mensucikan kaidah Islam sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dengan semboyan “kembali” kepada Qur’an dab Hadits. Oleh karena itu, semua yang mneyimpang dari garis al-Qur’an dan Sunnah diserangnya dengan berani. Dia juga menyerang kaum filsafat, seperti Ibnu Sina dan Ibnu al-Arabi, dan 14 menyerang kaum sufi dan mutakalimin yang dipandangnya muncul dari lembah yang sama. Imam al-Gazali pun tidak luput dari kecamannya larna menurut penelitiannya dua kitabnya yang terkenal Al-Munqiz Minadholaal dan Ihyaa Ulumuddin berisikan hadits yang tak sah (palsu). Pemikiran dan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi dapat menyebar ke Nusantara melalui beberapa tokoh setelah kembali dari belajar di Haramain. Misalnya, pada tahun 1802 tiga orang haji pribumi kembali kembali dari Mekkah ke kampung halaman mereka di wilayah Minangkabau. Mereka adalah Hadji Miskin, Hadji Muhammad Arif, dan Hadji Abdurrahman yang tampaknya sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Mereka membawa gagsan-gagasan yang sama ke wilayah ke wilayah mereka masing masing Tindakan ini disusul dengan penaklukan setiap negari kira-kira secara sistematik satu demi satu dimana mereka menerapkan secara ketat hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[6]

Daftar Pustaka

Ahmad Didi Riyadi, Feni Andri Mulyani, dan Ismi Rohimatun Ni’mah, “Modern Kontemporer Pemikiran Dalam Islam Pemikiran Islam Modern Dan Kontemporer,” Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 1, no. 2 (16 April 2023): h.31, https://doi.org/10.55606/religion.v1i2.90

Amin Mudzakkir, “Islam Dan Politik Di Era Kontemporer,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11, no. 1 (June 3, 2016): h. 35, https://doi.org/10.21274/epis.2016.11.1.31-48.

Abdul Fadhil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012).

Ahmad Arifai, “Akulturasi Budaya Islam Dan Budaya Lokal,” STIT Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya

Eka Putri Apliria, “Penggambaran Realitas Politik Umat Islam Indonesia Dalam Wacana Media,” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020

Miftahuddin, Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia (Yogyakarta: UNY Press, 2017)

0 komentar:

Posting Komentar