Selasa, 06 Juni 2023

Wali Songo Dan Islam Di Indonesia

 

Sumber: https://gadingpesantren.id/artikel/baca/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia-nusantara-walisongo 

Pengaruh Islam sangat kuat di daerah-daerah pesisir Utara Pulau Jawa, bahkan sejak abad XI telah muncul beberapa pemukiman orang Islam. Kemudian semakin berkembang hingga abad XV-XVI. Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo memiliki makna khusus yang dihubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi.[1] Peranan Wali Songo dapat dibentuk dalam beberapa bidang, seperti bidang pendidikan, bidang politik, dan yang paling terkenal ialah bidang dakwah:

1. Bidang Pendidikan

Peran Wali Songo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah ia mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa.

2. Bidang Politik

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Wali Songo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka menjadi penasihat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Istrinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan Sunan Giri, fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.[2]

3. Bidang Dakwah

Sudah jelas sepertinya, peran Wali Songo cukup dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubaligh, Wali Songo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya yang bersejarah dari Wali Songo adalah mendirikan masjid Demak. Hampir semua Wali Songo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin oleh para Wali Songo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu gamelan. Ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukannya atau menyembah yang lain.[3]

Sejarah mencatat, selama rentang waktu antara 1446-1471 M sebagian besar penduduk Champa beragama Islam berbondong-bondong mengungsi ke Nusantara. Rentang waktu itu, tepat berurutan dengan terjadinya proses Islamisasi secara besar-besaran di Nusantara, yang dikenal sebagai zaman awal Wali Songo.[4] Dalam catatan historiografi lokal di Cirebon, Banten, maupun Jawa, dituturkan bagaimana para ulama dan bangsawan asal Champa seperti Syaikh Hasanuddin Qurro di Karawang, Raja Pandhita di Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, dengan kebijaksanaankebijaksanaan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah Wali Songo, menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosio-kultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi dengan adat budaya dan tradisi keagamaan yang sudah ada di Nusantara.

Tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai-nilai dan sistem sosial budaya masyarakat sebagai berikut:

1. Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa (Susuhunan ing Ngampel-denta handamel pranataning agami Islam, kanggenipun ing titiyang Jawi).

2. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda (Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda)

3. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah (Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan hutawi ulamulaman, kaliyan amewahi parabotipun ing among tani, utawi andamel garabah)

4. Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan (Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana)

5. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan (Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing dinten wulan tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi)

6. Sunan Bonang mengajar ilmu suluk, membuat gamelan, menggubah irama gamelan (Kanjeng Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending)

7. Sunan Drajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kanjeng Susuhunan Drajat, amewahi wanguning geiya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli sapanunggalanipun)

8. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pandai besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukkan bagi orang Jawa (Kanjeng Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel, waos duwung sapanunggalipun, utawi amewahi parabotipun bekakasing pande, kaliyan kemasan, saha adamel anggeranggeripun hingga pangadilan hukum ingkang keningning kalampahan ing titiyang Jawi).[5]

Hasil sukses yang diperoleh Wali Songo dalam menyebarkan dakwah Islam di tanah Jawa tidak bisa lepas dari metode yang dipakai kala itu, yaitu: Pertama, berdakwah melalui jalur keluarga atau perkawinan. Kedua, adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, metode Pendidikan pesantren adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar. Ketiga, adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa dalam, kebudayaan Jawa Wali Songo memberikan andil yang sangat besar. Keempat, adalah metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Kelima, dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di tanah Jawa, para wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya.[6]

Adapun pendekatan dakwah dengan seni budaya disalurkan dengan pertunjukan wayang, gamelan, dan seni lainnya yang merupakan budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Seni pertunjukan yang potensial menjadi sarana komunikasi dan transformasi informasi kepada publik, terbukti dijadikan sarana dakwah yang efektif oleh Wali Songo dalam usaha penyebaran berbagai nilai, paham, konsep, gagasan, pandangan, dan ide yang bersumber dari agama Islam. Cara ini dilakukan baik melalui proses pengambilalihan lembaga pendidikan asrama atau dukuh maupun melalui pengembangan sejumlah seni pertunjukan dan produk budaya tertentu untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dari sini, lahirlah bentuk-bentuk baru kesenian hasil asimilasi dan sinkretisasi kesenian lama menjadi kesenian tradisional khas yang memuat misi ajaran Islam.[7]

Peradaban Islam sangat berkembang pada masa Wali Songo, dengan dukungan kerajaan Demak. Tidak hanya di Pulau Jawa, kontak dengan Islam berikutnya juga terjadi di berbagai pulau di Nusantara, perkembangannya seiring dengan tujuan perdagangan atau semata-mata kerena pengajaran agama Islam. Hal ini dilakukan tidak terjadi dalam kurung waktu yang bersamaan, misalnya kontak Islam dengan Aceh dan Palembang pada abad VII M. Di Jawa hampir paling awal, berdasarkan bukti sejarah sekitar abad XI M. Selanjutnya disebarkan sampai ke Jawa Barat ± abad XVI, yaitu berkaitan dengan pengiriman tentara Kerajaan Demak ke Cirebon, Jayakarta, dan beberapa wilayah Kerajaan Pajajaran yang berkaitan dengan perluasan wilayah perdagangan dan pengaruh kekuasaan.[8]



[1] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017).

[2] Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo. Strategi Dakwah Islam di Nusantara,” J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52”

[3] Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo.”

[4] Camelia Nova, et al., Sejarah Kebudayaan Islam (Pada Masa Rasulullah Hingga Tersebarnya Islam Ke Nusantara) (Bekasi: Tarbiyah PAR 2 Fakultas Agama Islam, 2022).

[5] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

[6] Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar: 2000)

[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

[8] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)

Daftar Pustaka

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017).

Nurul Syalafiyah and Budi Harianto, “Walisongo. Strategi Dakwah Islam di Nusantara,” J-KIs: Jurnal Komunikasi Islam 1, no. 2 (December 31, 2020): 41–52”

Camelia Nova, et al., Sejarah Kebudayaan Islam (Pada Masa Rasulullah Hingga Tersebarnya Islam Ke Nusantara) (Bekasi: Tarbiyah PAR 2 Fakultas Agama Islam, 2022).

Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar: 2000)

0 komentar:

Posting Komentar