1. Kerajaan
Islam Di Sumatera
Kerajaan
Islam pertama di Sumatera didirikan pada abad ke13 di daerah Pasai, Aceh.
Kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Samudra Pasai, yang menjadi pusat
perdagangan di Asia Tenggara dan berhasil menarik perhatian pedagang dari Arab,
India, dan Tiongkok. Selain Pasai, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul
di Sumatera antara lain Kerajaan Darussalam, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan
Aceh, dan Kerajaan Indrapura. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Aceh: Abad
ke- XIII sampai dengan Abad ke- XX" oleh Abdul Haris Nasution, Kerajaan
Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat dan mampu menguasai sebagian besar
wilayah Sumatera. Selain itu, kerajaan Aceh juga dikenal sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Asia Tenggara.[1]
Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang
antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak
lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam,
dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau
1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, diceritakan
bahwa SultanMalik as-Shaleh sebelumnya adalah seorang kepala gampong (sebuah
sistem pembagian wilayah administratif di Provinsi Aceh berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati) Samudera bernama Meurah
Silu. Setelah menganut agama Islam, ia berganti nama menjadi Malik as-Shaleh.
Berikut ini merupakan urutan para Raja-Raja yang memerintah di Kesultanan
Samudera Pasai: Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M); Sultan Muhammad Malik
Zahir (1297-1326); Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383); Sultan Zainal
Abidin Malik Zahir (1383-1405); Sultanah Nahrisyah (1405-1412); Abu Zain Malik
Zahir (1412); Mahmud Malik Zahir (1513-1524).[2]
2. Kerajaan
Islam di Jawa
Kerajaan Islam pertama di Jawa
didirikan pada abad ke-16 di daerah Demak. Kerajaan ini menjadi pusat
Islamisasi di Jawa dan berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk pulau
Jawa. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Jawa antara
lain Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Yogyakarta. Menurut
jurnal "Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta" oleh Andi
Faisal Bakti, kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kesultanan yang
meneruskan tradisi kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan ini berhasil mempertahankan
kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Jawa.[3]
Dahulu, Demak merupakan wilayah kadipaten atau
kabupaten dari Kerajaan Majapahit. Namun usai kerajaan tersebut runtuh, Raden
Patah yang merupakan anak dari Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal
Cina yang beragama Islam berinisiatif mendirikan Kerajaan Demak. Pada
waktu itu, Raden Patah mendapatkan dukungan dari para bupati yang berkuasa di
sekitar Demak. Setelah berhasil didirikan pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak
menjadi pusat penyebaran Islam oleh Wali Songo di Pulau Jawa. Lalu setelah
Raden Patah meninggal dunia, takhta kerajaan diberikan kepada putranya, Adipati
Unus. Namun Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan
Sultan Trenggono. Disebutkan bahwa Sultan Trenggono mampu memperluas wilayah
kekuasannya hingga hingga ke Jawa bagian timur dan barat. Tak berhenti di situ,
ia juga berhasil mengusir Bangsa Portugis dari Jakarta. Sejak didirikan hingga
runtuh, Kerajaan Demak telah berganti pemimpin selama lima kali. Adapun
raja-raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Raden
Patah, memimpin sejak 1500 sampai 1518 M.
2. Adipati
Unus, memimpin sejak 1518 sampai 1521 M.
3. Sultan
Trenggono, memimpin sejak 1521 sampai 1546 M.
4. Sunan
Prawoto, memimpin sejak 1546 sampai 1549 M.
5. Arya
Penangsang, memimpin sejak 1549 sampai 1554 M.[4]
Berdirinya
kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang
menyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan pengajaran Islam pun
bertambah maju. Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di
Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh yaitu dengan mendirikan
masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah. Disana diajarkan
pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal untuk menjadi seorang guru
yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. Wali
suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan ditambah nama
daerahnya, seperti Sunan Gunung Jati.[5]
3. Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan
Islam pertama di Sulawesi didirikan pada abad ke16 di daerah Bone. Kerajaan ini
menjadi pusat perdagangan di Sulawesi dan berhasil menguasai sebagian besar
wilayah Sulawesi Selatan. Selain Bone, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang
muncul di Sulawesi antara lain Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan Kesultanan
Buton. Menurut buku "Sejarah Sulawesi Selatan" oleh Andi Zainal
Arifin, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Sulawesi.
Kerajaan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran
kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni
Islam di Sulawesi.[6]
Proses
permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan ditunjang dengan sistem pendekatan dan
metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk
ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan
akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur
birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini
memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu
istana raja.[7]
4. Kerajaan Islam di Kalimantan
Kerajaan
Muslim pertama di Kalimantan didirikan pada abad ke-19. Di daerah Banjarmasin.
Kerajaan ini menjadi pusatnya Perdagangan di Kalimantan dan berhasil menguasai
sebagiannya di wilayah yang luas di Kalimantan Selatan. Sebelah Banjarmasin
kerajaan Islam lainnya yang muncul di Kalimantan antara lain Kerajaan Kutai,
Kerajaan Bulungan dan Kesultanan Pontianak. Menurut buku “Sejarah Kerajaan
Banjar”. Bambang Setyawan, Kerajaan Banjar, adalah salah satunya Kerajaan
Muslim terbesar di Kalimantan. Kekaisaran ini berkembang pesat mempertahankan
kekuasaannya meskipun gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan-pengetahuan dan seni Islam di Kalimantan.[8]
Kedatangan
Islam di Kalimantan disebabkan oleh para da'i dari sana Sunan Bonang Jawa dan
Sunan Giri memiliki murid Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri kapan Pria
berusia 23 tahun itu melakukan perjalanan ke Kalimantan dengan seorang
pengusaha Kamboja dinamai oleh Abu Hurairah, misionaris lain dari Jawa berasal
dari Sayid Ngabdul Rahman alias Khatib Daiya Kediri. Perkembangan Islam mulai
mantap setelah berdirinya Kerajaan Islam Banjar Masin di bawah Sultan
Suriansyah, sehingga masjid dibangun hampir di setiap daerah Desa. Pada tahun
1710 M (tepatnya 13 Safaris 1122 H). Kerajaan Islam Banjar di bawah Sultan
Tahmilah (1700-1748) lahir dari seorang ulama terkenal yaitu Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari di desa tersebut Martapura Kalampayan. Sejak kecil ia dididik
oleh sultan Tahmillah dan cukup besar untuk belajar di Mekkah selama kurang
lebih 30 tahun. Oleh karena itu, pada gilirannya dikenal dengan kepekaan dan
kedalamannya tidak hanya di Kalimantan dan Indonesia, tetapi bahkan luar
negeri, terutama di Asia Tenggara. Syekh Muhammad Arsyad menulis banyak buku
agama, Buku tersebut merupakan salah satu yang paling dikenal hingga saat ini
Sahibul Muhtadin Sultan Tahmililah diangkat menjadi mufti Kerajaan Banjar yang
agung. Syekh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan Pondok
Pesantren di kampong Dalam Pagar yang sampai sekarang masih terkenal yaitu
Pesantren Darussalam.[9]
5. Kerajaan
Islam di Maluku
Menurut M.S. Putuhena sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Masuknya
Islam di Maluku (2012), masuknya Islam di Maluku Utara diperantarai oleh empat
syekh dari Irak (Persia) pada abad ke-8 M. Keempat syekh tersebut yaitu Syekh
Mansur yang mengajarkan Islam di Ternate dan Halmahera Muka. Syekh Yakub
mengajarkan islam di Tidore dan Makian.Ssyekh Amin dan Syekh Umar mengajarkan
Islam di Halmahera Belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Proses pengislaman
dilakukan melalui jalur atas dan bawah. Jalur atas yang dimaksud adalah proses
pengislaman melalui penguasa saat itu. Sedangkan jalur bawah adalah proses
pengislaman melalui usaha perorangan di tengah masyarakat. Pada abad ke-15,
raja Ternate (1465-1486) Kolano Kaicil Marhum telah memeluk Islam. Agama Islam
kemudian terus menyebar dan dianut oleh berbagai lapisan masyarakat hingga
kelembagaan kerajaan. Agenda islamisasi terus tumbuh dan semakin mapan dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara. Kerajaan bercorak Islam
yang ada di Maluku Utara yakni kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.[10]
Sistem
birokrasi kerajaan Islam muncul sebagai bentuk organisasi administrasi
pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa-penguasa Islam pada masa lalu.
Sistem birokrasi ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pengaturan
tugas-tugas pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pemerintahan. Menurut buku "Sejarah Pemerintahan Islam" oleh Prof.
Dr. Hamka, sistem birokrasi kerajaan Islam terdiri dari tiga bagian utama,
yaitu kepala pemerintahan (sultan atau raja), menteri-menteri atau
pejabat-pejabat tinggi, dan jabatan-jabatan administratif. Setiap bagian
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain.[11]
Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia pada umumnya dibagi menjadi
dua kelas yaitu kerajaan laut dan kerajaan dalam negeri atau pertanian.
Birokrasi di kerajaan maritime harus melayani ekonomi bisnis, sementara
kerajaan agraria berfokus pada ekonomi agraria. Kerajaan tradisional paling
berpengaruh di Jawa termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam pada umumnya
pertanian. Dalam membangun sistem politik yang bisa melakukan itu memastikan
stabilitas sebagai prasyarat untuk pembangunan ekonomi, Langkah-langkah harus
diambil untuk memperkuat birokrasi pemerintan sistem birokrasi modern yang
efisien dan fungsional. Tapi itu perlu diketahui bahwa munculnya birokrasi
modern jauh dari negara yang dulu penggunaan birokrasi tradisional.[12]
Kondisi sosial masyarakat yang ada di gampong (penduduk asli Banda Aceh), dimana masyarakatnya masih kental dengan sikap solidaritas antar sesama, dan setiap kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di gampong sangat berjalan dan dipelihara dengan baik. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti wirid ibu-ibu, gotong royong, takziah pada orang meninggal dan lain sebagainya. Kebudayaan di kota Banda Aceh masih ada dan dijaga sampai sekarang secara turun temurun serta adat istiadat yang terus dilestarikan dan peninggalan tersebut dijadikan sebagai objek wisata budaya seperti Museum Aceh, Masjid Raya Baiturrahman dan lain-lain. Dari beberapa peninggalan tersebut masyarakat dari dalam daerah maupun luar daerah bahkan wisatawan asing datang untuk mengunjungi serta mempelajari sejarah dari peninggalan tersebut. [13]
[1]
Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad
ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)
[2] Universitas Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November 26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.
[3] Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).
[4] Inas Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023), https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.
[5] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”, Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).
[6] Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).
[7] Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)
[8] Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).
[9] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).
[10] Shulfi Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei 2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.
[11] Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).
[12] Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).
[13] Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).
Daftar
Pustaka
Abdul
Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)
Universitas
Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November
26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.
Andi
Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai
Pustaka (2004).
Inas
Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga
Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023),
https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.
Andi
Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).
Anzar
Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita
Vol. 26, No. 1 (2016)
Bambang
Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).
Hasnida,
“Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme
dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).
Shulfi
Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei
2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.
Hamka,
Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).
Yudi
Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita
Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).
Aisarah
Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata
Budaya”, (2020).
0 komentar:
Posting Komentar