Selasa, 06 Juni 2023

Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda

 

Sumber: https://www.inews.id/news/nasional/5-kerajaan-islam-paling-tua-di-indonesia

1.     Kerajaan Islam Di Sumatera

Kerajaan Islam pertama di Sumatera didirikan pada abad ke13 di daerah Pasai, Aceh. Kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Samudra Pasai, yang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara dan berhasil menarik perhatian pedagang dari Arab, India, dan Tiongkok. Selain Pasai, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sumatera antara lain Kerajaan Darussalam, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Aceh, dan Kerajaan Indrapura. Menurut buku "Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke- XIII sampai dengan Abad ke- XX" oleh Abdul Haris Nasution, Kerajaan Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat dan mampu menguasai sebagian besar wilayah Sumatera. Selain itu, kerajaan Aceh juga dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Asia Tenggara.[1]

Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, diceritakan bahwa SultanMalik as-Shaleh sebelumnya adalah seorang kepala gampong (sebuah sistem pembagian wilayah administratif di Provinsi Aceh berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati) Samudera bernama Meurah Silu. Setelah menganut agama Islam, ia berganti nama menjadi Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan para Raja-Raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai: Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M); Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326); Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383); Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405); Sultanah Nahrisyah (1405-1412); Abu Zain Malik Zahir (1412); Mahmud Malik Zahir (1513-1524).[2]

 2.     Kerajaan Islam di Jawa

 

Kerajaan Islam pertama di Jawa didirikan pada abad ke-16 di daerah Demak. Kerajaan ini menjadi pusat Islamisasi di Jawa dan berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk pulau Jawa. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Jawa antara lain Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Yogyakarta. Menurut jurnal "Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta" oleh Andi Faisal Bakti, kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kesultanan yang meneruskan tradisi kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Jawa.[3]

Dahulu, Demak merupakan wilayah kadipaten atau kabupaten dari Kerajaan Majapahit. Namun usai kerajaan tersebut runtuh, Raden Patah yang merupakan anak dari Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang beragama Islam berinisiatif mendirikan Kerajaan Demak. Pada waktu itu, Raden Patah mendapatkan dukungan dari para bupati yang berkuasa di sekitar Demak. Setelah berhasil didirikan pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran Islam oleh Wali Songo di Pulau Jawa. Lalu setelah Raden Patah meninggal dunia, takhta kerajaan diberikan kepada putranya, Adipati Unus. Namun Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Sultan Trenggono. Disebutkan bahwa Sultan Trenggono mampu memperluas wilayah kekuasannya hingga hingga ke Jawa bagian timur dan barat. Tak berhenti di situ, ia juga berhasil mengusir Bangsa Portugis dari Jakarta. Sejak didirikan hingga runtuh, Kerajaan Demak telah berganti pemimpin selama lima kali. Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut adalah sebagai berikut.

1.     Raden Patah, memimpin sejak 1500 sampai 1518 M. 

2.     Adipati Unus, memimpin sejak 1518 sampai 1521 M. 

3.     Sultan Trenggono, memimpin sejak 1521 sampai 1546 M. 

4.     Sunan Prawoto, memimpin sejak 1546 sampai 1549 M. 

5.     Arya Penangsang, memimpin sejak 1549 sampai 1554 M.[4]

Berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang menyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju. Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal untuk menjadi seorang guru yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan ditambah nama daerahnya, seperti Sunan Gunung Jati.[5]

  3.     Kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan Islam pertama di Sulawesi didirikan pada abad ke16 di daerah Bone. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan di Sulawesi dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Selain Bone, kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang muncul di Sulawesi antara lain Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan Kesultanan Buton. Menurut buku "Sejarah Sulawesi Selatan" oleh Andi Zainal Arifin, Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Sulawesi. Kerajaan ini berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan seni Islam di Sulawesi.[6]

Proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan ditunjang dengan sistem pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga muballigh dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif, adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masayarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja.[7]

  4.     Kerajaan Islam di Kalimantan

Kerajaan Muslim pertama di Kalimantan didirikan pada abad ke-19. Di daerah Banjarmasin. Kerajaan ini menjadi pusatnya Perdagangan di Kalimantan dan berhasil menguasai sebagiannya di wilayah yang luas di Kalimantan Selatan. Sebelah Banjarmasin kerajaan Islam lainnya yang muncul di Kalimantan antara lain Kerajaan Kutai, Kerajaan Bulungan dan Kesultanan Pontianak. Menurut buku “Sejarah Kerajaan Banjar”. Bambang Setyawan, Kerajaan Banjar, adalah salah satunya Kerajaan Muslim terbesar di Kalimantan. Kekaisaran ini berkembang pesat mempertahankan kekuasaannya meskipun gempuran kolonialisme Belanda dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan-pengetahuan dan seni Islam di Kalimantan.[8]

Kedatangan Islam di Kalimantan disebabkan oleh para da'i dari sana Sunan Bonang Jawa dan Sunan Giri memiliki murid Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri kapan Pria berusia 23 tahun itu melakukan perjalanan ke Kalimantan dengan seorang pengusaha Kamboja dinamai oleh Abu Hurairah, misionaris lain dari Jawa berasal dari Sayid Ngabdul Rahman alias Khatib Daiya Kediri. Perkembangan Islam mulai mantap setelah berdirinya Kerajaan Islam Banjar Masin di bawah Sultan Suriansyah, sehingga masjid dibangun hampir di setiap daerah Desa. Pada tahun 1710 M (tepatnya 13 Safaris 1122 H). Kerajaan Islam Banjar di bawah Sultan Tahmilah (1700-1748) lahir dari seorang ulama terkenal yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di desa tersebut Martapura Kalampayan. Sejak kecil ia dididik oleh sultan Tahmillah dan cukup besar untuk belajar di Mekkah selama kurang lebih 30 tahun. Oleh karena itu, pada gilirannya dikenal dengan kepekaan dan kedalamannya tidak hanya di Kalimantan dan Indonesia, tetapi bahkan luar negeri, terutama di Asia Tenggara. Syekh Muhammad Arsyad menulis banyak buku agama, Buku tersebut merupakan salah satu yang paling dikenal hingga saat ini Sahibul Muhtadin Sultan Tahmililah diangkat menjadi mufti Kerajaan Banjar yang agung. Syekh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan Pondok Pesantren di kampong Dalam Pagar yang sampai sekarang masih terkenal yaitu Pesantren Darussalam.[9]

5.     Kerajaan Islam di Maluku

Menurut M.S. Putuhena sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Masuknya Islam di Maluku (2012), masuknya Islam di Maluku Utara diperantarai oleh empat syekh dari Irak (Persia) pada abad ke-8 M. Keempat syekh tersebut yaitu Syekh Mansur yang mengajarkan Islam di Ternate dan Halmahera Muka. Syekh Yakub mengajarkan islam di Tidore dan Makian.Ssyekh Amin dan Syekh Umar mengajarkan Islam di Halmahera Belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Proses pengislaman dilakukan melalui jalur atas dan bawah. Jalur atas yang dimaksud adalah proses pengislaman melalui penguasa saat itu. Sedangkan jalur bawah adalah proses pengislaman melalui usaha perorangan di tengah masyarakat. Pada abad ke-15, raja Ternate (1465-1486) Kolano Kaicil Marhum telah memeluk Islam. Agama Islam kemudian terus menyebar dan dianut oleh berbagai lapisan masyarakat hingga kelembagaan kerajaan. Agenda islamisasi terus tumbuh dan semakin mapan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara. Kerajaan bercorak Islam yang ada di Maluku Utara yakni kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.[10]

Sistem birokrasi kerajaan Islam muncul sebagai bentuk organisasi administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa-penguasa Islam pada masa lalu. Sistem birokrasi ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pengaturan tugas-tugas pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Menurut buku "Sejarah Pemerintahan Islam" oleh Prof. Dr. Hamka, sistem birokrasi kerajaan Islam terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kepala pemerintahan (sultan atau raja), menteri-menteri atau pejabat-pejabat tinggi, dan jabatan-jabatan administratif. Setiap bagian memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain.[11]

Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia pada umumnya dibagi menjadi dua kelas yaitu kerajaan laut dan kerajaan dalam negeri atau pertanian. Birokrasi di kerajaan maritime harus melayani ekonomi bisnis, sementara kerajaan agraria berfokus pada ekonomi agraria. Kerajaan tradisional paling berpengaruh di Jawa termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam pada umumnya pertanian. Dalam membangun sistem politik yang bisa melakukan itu memastikan stabilitas sebagai prasyarat untuk pembangunan ekonomi, Langkah-langkah harus diambil untuk memperkuat birokrasi pemerintan sistem birokrasi modern yang efisien dan fungsional. Tapi itu perlu diketahui bahwa munculnya birokrasi modern jauh dari negara yang dulu penggunaan birokrasi tradisional.[12]

Kondisi sosial masyarakat yang ada di gampong (penduduk asli Banda Aceh), dimana masyarakatnya masih kental dengan sikap solidaritas antar sesama, dan setiap kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di gampong sangat berjalan dan dipelihara dengan baik. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti wirid ibu-ibu, gotong royong, takziah pada orang meninggal dan lain sebagainya. Kebudayaan di kota Banda Aceh masih ada dan dijaga sampai sekarang secara turun temurun serta adat istiadat yang terus dilestarikan dan peninggalan tersebut dijadikan sebagai objek wisata budaya seperti Museum Aceh, Masjid Raya Baiturrahman dan lain-lain. Dari beberapa peninggalan tersebut masyarakat dari dalam daerah maupun luar daerah bahkan wisatawan asing datang untuk mengunjungi serta mempelajari sejarah dari peninggalan tersebut. [13]


[1] Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)

[2] Universitas Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November 26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.

[3] Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).

[4] Inas Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023), https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.

[5] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”, Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[6] Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

[7] Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)

[8] Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

[9] Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

[10] Shulfi Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei 2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.

[11] Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).

[12] Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

[13] Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).

Daftar Pustaka

Abdul Haris Nasution, Sejarah Kerajaan Aceh: Abad ke-XIII sampai dengan Abad ke-XX, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional (2003)

Universitas Islam An Nur Lampung, “Kerajaan Islam Di Sumatera,” an-nur.ac.id (November 26, 2022), https://an-nur.ac.id/kerajaan-islam-di-sumatera/.

Andi Faisal Bakti, Islamisasi dan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, Jakarta: Balai Pustaka (2004).

Inas Rifqia Lainufar, “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Sejarah, Raja-Raja, Hingga Penyebab Keruntuhan,” iNewsJateng.id (January 3, 2023), https://jateng.inews.id/berita/kerajaan-islam-pertama-di-jawa-sejarah-raja-raja-hingga-penyebab-keruntuhan.

Andi Zainal Arifin, Sejarah Sulawesi Selatan, Makassar: Pustaka Refleksi (2012).

Anzar Abdullah, “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 26, No. 1 (2016)

Bambang Setyawan, Sejarah Kerajaan Banjar, Jakarta: Pustaka Larasan (2011).

Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme”. Vol. XVI No. 2 (Oktober 2017).

Shulfi Ana Helmi, “Kerajaan Islam Di Maluku Utara Dan Sejarah Singkatnya,” tirto.id (Mei 2021), https://tirto.id/kerajaan-islam-di-maluku-utara-dan-sejarah-singkatnya-ggcP.

Hamka, Sejarah Pemerintahan Islam, Jakarta: Gema Insani Press (1994).

Yudi Setianto, “Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Paramita Vol. 20 No. 2 (Juli 2010).

Aisarah Rahmadhana, “Peninggalan Warisan Kolonial Belanda di Banda Aceh Sebagai Wisata Budaya”, (2020).

0 komentar:

Posting Komentar