Kamis, 16 Maret 2023

Dinasti Abbasiyah

Sumber: https://kalam.sindonews.com/read/681461/70/muhammad-bin-ali-arsitek-dinasti-abbasiyah-yang-kampanyekan-ahlul-bait-1644404535


         Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad yang bernama Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib Ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibnu Al-Abbas.[1] Berdirinya dinasti Abbasiyah berawal sejak merapuhnya kekuasaan Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayyah di Damaskus. Dengan segala konflik yang ada pada tubuh Bani Umayyah, menjadikan Bani Abbasiyah maju sebagai pengganti kepemimpinan umat islam. Bani Abbasiyah merasa lebih berhak dari Bani Umayyah atas kekhalifahan islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara garis keturunan lebih dekat dengan Nabi.[2] Setelah meruntuhkan Dinasti Umayyah dengan cara membunuh Marwan sebagai khalifahnya pada tahun 750 M, Abu Al-Abbas mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Berdirilah sebuah Dinasti menuju kekuasaan yang bersifat internasional, dengan asimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sabagainya. Al-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab islam ketiga setelah Khulafaurrasyidin dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan berusia lama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1250 M).[3]

Menurut para sejarawan ada lima periode pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah:

1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Buwaihi dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan Daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (Salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung).

5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.[4]

Pada masa Bani Abbasiyah yang lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Setelah masa Al-Mansur, kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak para ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Bagdad ketika itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. [5]

Dinasti Abbasiyah lebih banyak membangun di dalam negerinya terutama pada ilmu pengetahuan seperti: penerjemah buku-buku dari Yunani, Persia dan India dibiayai oleh negara, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al-Hikmah, dan juga terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berpikir. Hasil dari ilmu pengetahuan itu melahirkan ilmuan-ilmuan diantarannya: Abu Musa Jabir bin Hayyan adalah ilmuwan Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin ilmu kimia di abad ke-8 M, Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang menciptakan ilmu Aljabar. Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran yang terkenal di Eropa.



[1] Nunzairina, “Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan Dan

Kebangkitan Kaum Intelektual,” Universitas Islam Negeri Islam Sumatera Utara 3 (2020): h. 93.

[2] Nunzairina, “Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan Dan Kebangkitan Kaum Intelektual,” h. 93.

[3] Nunzairina, “Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan Dan Kebangkitan Kaum Intelektual,” h. 94.

[4] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Cetakan 1. (Medan: Perdana Publishing, 2016).

[5] Rina Estu Ratna, “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah” (Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang 2017).

Daftar Pustaka

Nunzairina. “Dinasti Abbasiyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan Dan Kebangkitan Kaum Intelektual.” Universitas Islam Negeri Islam Sumatera Utara 3 (2020)

Rina Estu Ratna. “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah.” Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang 2017.

Siti Zubaidah. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan 1. Medan: Perdana Publishing, 2016.


Sejarah Islam Di Makkah Dan Madinah

Sumber: https://www.cheria-travel.com/2014/03/pesona-kota-suci-makkah-dan-madinah.html

        Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Masyarakat Arab lama (sebelum Islam) memiliki keyakinan animisme, ialah sebuah paham yang beranggapan bahwa setiap benda mempunyai roh, dan roh tersebut memiliki kekutan ghaib yang disebut Mana dan dikenal sebagai “Kaum Watsani” yaitu kaum yang mengganggap Tuhan mereka dalam bentuk patung-patung sesembahan yang mereka anggap sebagai perantara dengan Tuhan. Bangsa Arab pra Islam juga mengikuti satu ajaran agama, yaitu agama Ibrahim, agama hanif, agama tauhid yang kelak terejawantahkan dalam ajaran Islam.[1]

Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Arab-Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (sistem hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw. dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah swt.[2]

Negara yang dipimpin oleh Nabi Muhammad adalah negara hukum, bukan monarki absolut. Hukum tata negara dan hukum publik yang diterapkan bersifat meyeluruh kepada seluruh lapisan penduduk Madinah dan Nabi Muhammad Saw tetap menghargai kemerdekaan beragama bagi penduduk Madinah dengan tidak memaksakan Islam kepada mereka. Faktor kepemimpin Nabi Muhammad Saw berhasil di Madinah disebabkan karena simpatik dan keterbukaan kaum Anshar terhadap Kaum Muhajirin. Sehingga misi kerasulan dalam proses penyebaran Islam semakin mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu karena ditopang dengan kekuatan politik.[3]

Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara itu bertujuan untuk mengatur segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan siyasah syar’iyah. Rasulullah SAW melakukan perundingan atau negosiasi terutama dengan kaum kafir Quraisy baik di Mekah maupun Madinah untuk menciptakan keharmonisan sosial. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan di Madinah ini kemudian tertera dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”. Piagam Madinah adalah undang-undang Negara atau konstitusi pertama yang ada di tanah Arab. Semua komunitas, yang tinggal di Madinah baik Muslim maupun Yahudi bersatu padu dan mentaati bersama konstitusi ini dalam sebauh ikatan sosial (negara).[4]

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun, tetapi kedudukan Rasulullah yang kedua sebagai pemimpin kaum muslimin harus segera digantikan dan orang pengganti tersebut dinamakan khalifah. Istilah kekhalifahan muncul setelah terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat islam menggantikan kepemimpinan Rasul Muhammad. kemudian diganti oleh Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, dan kemudian Ali Ibn Abi Thalib. Keempat orang khalîfah tersebut kemudian dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin.[5]




[1] Muzhiat, “Historiografi Arab Pra Islam,” h. 131.

[2] Ridwan, Chatib, dan Fuad Rahman, “Sejarah Makkah dan Madinah pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 3.

[3] Faiz Ibrahim dkk., “Konstitusi Madinah dalam Membangun Civil Society,” Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam 16, no. 1 (2020): h. 5.

[4] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 93.

[5] Adnan, “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah dan Khulafaurrasyidin,” h. 95.

Daftar Pustaka

Adnan, Mohammad. “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah dan Khulafaurrasyidin.” Cendekia: Jurnal Studi Keislaman 5, no. 1 (2019): 85–102.

Efrinaldi. “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip[1]Prinsip Politik Kenegaraan.” Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017).

Ibrahim, Faiz, Ali Wakhid, Suhandi, dan Bukhori Abdul Shomad. “Konstitusi Madinah dalam Membangun Civil Society.” Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam 16, no. 1 (2020).

Muzhiat, Aris. “Historiografi Arab Pra Islam.” Tsaqôfah: Jurnal Agama dan Budaya 17, no. 2 (Desember 2019)

Ridwan, Muannif, Adrianus Chatib, dan Fuad Rahman. “Sejarah Makkah dan Madinah pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam).” Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 7, no. 1 (12 Oktober 2021): 1–20.

Sejarah Peradaban Islam Dan Budaya Lokal

Sumber: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5846535/sejarah-perkembangan-peradaban-islam-dalam-tiga-periode-klasik-modern

         Pengertian sejarah mencakup 3 hal: 1. Silsilah, asal usul keturunan, 2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, riwayat, tambo, peristiwa-peristiwa penting yang benar-benar terjadi, cerita-cerita yang berdasar pada kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi, 3. Ilmu pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Menurut Bernheim, sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menceritakan fakta-fakta di dalam waktu temporer dan di dalam hubungan dengan perkembangan umat manusia dalam aktivitas mereka (baik individu maupun kolektif) sebagai makhluk sosial di dalam hubungan sebab akibat.[1]

Dalam definisi peradaban yang dimaksud disini yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan cepat mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.[2]

Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[3]

Kebudayaan atau peradaban adalah bukti jejak kehidupan manusia sebagai potret perkembangan dan kemajuan mereka yang bersumber dari budi daya untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup mereka dalam berbagai aspek kehidupan yang memiliki unsur dan wujud. Menurut Melville J. Herskovits, ada empat unsur kebudayaan, yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan sistem kekuasaan politik. Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu 1) wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain yang sejenis; 2) wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[4]

Dalam penulisan sejarah, metode yang dapat digunakan adalah metode deskriptif, komparatif, dan analisis sintetis. Metode deskriptif ditunjukkan untuk menggambar adanya peradaban Islam tersebut, maksudnya ajaran Islam sebagai agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad yang berhubungan dengan peradaban diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami yang terkandung dalam sejarah tersebut. Metode Komparatif ditujukan untuk membandingkan sebuah perkembangan peradaban Islam dengan peradaban Islam lainnya. Metode Analisis Sintesis ditujukan dengan melihat sosok peradaban Islam secara lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang luas serta kesimpulan yang lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang luas serta kesimpulan yang spesifik.[5]


 



[1] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, 15–16.

[2] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, 17.

[3] Siti Zubaidah, 16.

[4] Suyuthi Pulungan, 17–18.

[5] Sulthon Mas’ud, “Sejarah Peradaban Islam.”

Daftar Pustaka 

Siti Zubaidah. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing, 2016.

Sulthon Mas’ud. “Sejarah Peradaban Islam,” November 2014.

Suyuthi Pulungan. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2017.


Peradaban Turki Utsmani

Sumber: https://international.sindonews.com/read/815939/45/3-bangunan-peninggalan-turki-utsmani-nomor-1-dibangun-untuk-saingi-hagia-sophia-1656817666?showpage=all

Kerajaan Turki didirikan oleh bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus yang merupakan anak suku Tukrey yang mendiamai Gurun Gobi sebelah barat. Memasuki tahun pertama Masehi, pada masa itu wilayah Turki bernama Kerajaan Bizantium yang dikuasai oleh bangsa Romawi selama 4 abad.[1] Pendiri kerajaan ini mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira 3 abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 Masehi. Dibawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pegunungan ditengah[1]tengah saudara mereka, yaitu orang-orang Turki Saljuk di dataran tinggi Asia Kecil. Dibawah pimpinan Ertugrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Atas bantuan mereka, Sultan Alauddin II mendapat kemenangan.Karena jasa baik itu, sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kotanya.[2]

Menurut Syafiq A. Mughni, periode kepemimpinan turki utsmani terbgai menjadi lima periode: Periode pertama (1299-1402)  dimulai dari berdirinya kerajaan, Periode kedua (1402-1566) ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Periode ketiga (1566-1699) ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Periode keempat (1699-1838) ditandai degan berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah yang di tangan para penguasa wilayah. Periode kelima (1839-1922) ditandai dengan kebangkitan kultural dan administrasi dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat.[3] Adapun kemajuan-kemajuan yang dicapai Turki Utsmani dalam berbagai bidang. Salah satu diantaranya pada bidang diantaranya: Bidang Militer dan Pemerintahan para tentara dapat mengatur dan menata sehingga negara Turki Utsmani dijuluki mesin perang terkokoh dan paling superior, kemudian menyampaikan motivasi yang dapat mempengaruhi tentara dalam merebut kekuasaan negeri nonmuslim. Garda pertama yang mendorong kemajuan ini ialah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang ada ciri khas kemiliteran, disiplin, dan patuh terhadap peraturan. Penataan antusiasme militer kerajaan diorganisasir secara bagus sejak pemerintahan Sultan Murad I.[4] Selain itu pasti Turki Utsmani pernah mengalami kemunduran pada masanya. Ada tiga faktor yang menjadi penyebab kehancuran kerajaan Turki Utsmani diantaranya: kelemahan para sultan dan sistem birokrasi, kemerosotan kondisi sosial ekonomi dan munculnya kekuatan eropa.[5]

Sejarah Dinasti Safawi

Pada awalnya kerajaan Safawi hanya merupakan gerakan atau aliran tarekat yang didirikan oleh Safi al-Din Ishak al-Ardabily (1252-1334 M) di Ardabil, Azerbijan. Tarekat ini dinamakan Safawi yang diambil dari nama pendirinya. Dalam perjalanannya, tarekat Safawi ini perlahan-lahan berubah dari gerakan tarekat murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia (Asia kecil) dan pengikutnya pun semakin bertambah. Fanatisme terhadap tarekat ini yang menentang sikap orang yang tidak mengikuti faham mereka, memotivasi gerakan ini memasuki dunia politik.[6] Safawi mulai terlibat dalam konflik-konflik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada di Persia ketika itu, misalnya komflik dengan Kara Konyunlu yang bermazhab Syi’ah. Ketika Junaid wafat ia digantikan oleh putranya, Haedar (1470 M). Pada masa pemerintahan Haidar, ia melanjutkan persekutuan ayahnya dengan AK.Koyunlu untuk melawan Kara Koyunlu. Dan Ia berhasil mengalahkan Kara Konyunlu. pada tahun 1488, ketika pasukan Haidar menyerang wilayah Sircasia dan pasukan AK.Koyunlu memberikan bantuan militer kepada pasukan Syirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut. Kekalahan dan kematian Haidar, tidak membuat pasukannya putus asa. Mereka berkumpul di Ardabil dan membaiat Ali, putra sulung Haidar, sebagai pemimpin mereka.

Pada tahun 1493 M, mereka dibebaskan dengan syarat Ali harus membantu Rustam, putra mahkota AK.Koyunlu untuk menyingkirkan rival politiknya (sepupunya sendiri) dalam menduduki tahta kekuasaan. Setelah itu Ali kembali ke Ardabil. Karena khawatir akan pengaruh Ali semakin meluas. Rustam menyerang Ali (1494) dan dalam serangan tersebut Ali terbunuh. Kekuatan gerakan Safawi bangkit kembali setelah dipimpin oleh Ismail bin Haidar (1501-1524 M), yang sebelumnya ditunjuk oleh Ali. Pada saat tentara AK.Koyunlu menyerang Safawi (1494), Ismail meloloskan dirinya dan lari ke Ghilan. Ditempat persembunyiannya ia menghimpun kekuatan dan memelihara hubungan baik dengan para pengikutnya di Azerbijan, Syria dan Anatolia, selama lima tahun ia bersiap siaga dengan pasukan Qizilbasy nya yang bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501, pasukannya berhasil mengalahkan pasukan AK.Koyunlu, dengan menaklukkan Tybriz, pusat kekuasaan AK.Koyunlu. Di kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Syah Ismail I, penguasa I kerajaan Safawi. Dan sepuluh tahun kemudian, kerajaan Safawi menguasai seluruh Persia. Dengan demikian semakin tegaklah kerajaan Safawi dengan sistem pemerintahan teokrat, dan menjadikan Syi’ah Itsna Asyariah sebagai mazhab resmi Negara. Demikianlah sejarah asal usul pembentukan kerajaan Safawi, yang dengan eksistensinya sangat penting dalam sejarah Persia.[7]

Kemajuan kerajaan Safawi itu meliputi: menciptakan sentralisasi kekuatan militer dan administrasi negara dan menciptakan perangkat keagamaan, membangun pabrik-pabrik untuk memproduksi barang-barang mewah, membangun ibu kota baru, yaitu Isfahan. Disamping kemajuan pasti ada kemunduran. Berikut adalah faktor kemunduran kerajaan safawi: Konflik berkepanjangan dengan Turki Usmani dengan Safawi yang tidak pernah berhenti, mengakibatkan lemahnya kekuasaan Safawi, banyaknya daerah dalam wilayah kekuasaan Safawi melepaskan diri dan melakukan pemberontakan-pemberontakan daerah-daerah yang melepaskan diri terhadap kerajaan. Dari faktor diatas kerajaan Safawi akhirnya mengalami kehancuran dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia, pada tahun 1736 M yang dijatuhkan oleh Nadir Syah, seorang kepala salah satu suku bangsa Turki yang ada di Persia ketika itu.[8] 

Sejarah Dinasti Mughal

Dinasti Mughal merupakan kerajaan yang didirikan oleh keturunan bangsa Mongol. Bangsa Mongol adalah bangsa yang berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuriabarat serta Turkistan Timur. Dari keturunan Timur Lenk lahirlah Abu Said yang merupakan turunan terakhirnya. Dari Abu Said munculah Umar Sheikh Mirza. Dari Umar Sheikh Mirza lahirlah Sultan Zahiruddin Muhammad Babur sebagai pendiri Kerajaan Mughal.[9] Kerajaan Mughal didirikan oleh Sultan Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530 M) Kemudian Sultan Zahiruddin Muhammad Babur meninggal dunia saat usia 48 tahun pada tanggal 26 Desember 1530 M.[10] Disaat yang gawat darurat itulah Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar putra dari Sultan Nasiruddin Muhammad Humayun tertua dan baru berusia 14 tahun naik tahta menggantikan ayahnya yaitu pada tahun 1556 M.[11]

Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar terkenal dengan kebijakan-kebijakannya yang toleran, sehingga Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar mampu menyatukan hati umat Islam dan umat Hindu yang notabene selalu bertikai.[12] Sebagai seorang raja, Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar terus meluaskan wilayah kekuasaannya. Luas wilayah Mughal yang meliputi hampir seluruh wilayah India dan juga berbagai agama yang berkembang seperti Hindu, Islam, Budha, Jain, Zoroaster, Yahudi dan Nasrani dengan Hindu sebagai Mayoritas, menambah ketidakstabilan India pada saat itu. Akan tetapi Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar berhasil menguasai keadaan tersebut dengan berbagai kebijakan yang diterapkannya.[13] Kemajuan yang dicapai Sultan Akbar dalam berbagai bidang diantaranya: bidang politik dan militer, bidang ekonomi, bidang seni dan arsitektur dan bidang agama.[14]

 

 



[1] Taqwatul Uliyah, “Kepemimpinan Kerajaan Turki Utsmani” 7, no. 2 (2021).

[2] Muhammad Basyrul Muvid, “Sejarah Kerajaan Turki Utsmani Dan Kemajuannya Bagi Dunia Islam” 2 (2018).

[3] Fathur Rahman, “Sejarah Perkembangan Islam Di Turki” 10 (2018)

[4] Rahmida Putri*, Haidar Putra Daulay, Zaini Dahlan, “Warisan Peradaban Islam Era Turki Utsmani Sebagai Penguat Identitas Turki Modern” 1, no. 2 (2021).

[5] Taqwatul Uliyah, “Kepemimpinan Kerajaan Turki Utsmani” 1, no. 2 (2021).

[6] Harjony Desky, “Kerajaan Safawi Di Persia Dan Mughal Di India Asal Usul, Kemajuan Dan Kehancuran” 8, no. 1 2016.

[7] Desky, “Kerajaan Safawi Di Persia Dan Mughal Di India Asal Usul, Kemajuan Dan Kehancuran.”

[8] Adiyana Adam, Abd Rahim Yunus, and Syamsan Syukur, “Sejarah Perkembangan Dan Kemunduran Tiga Kerajaan Islam Di Abad Modern (1700-1800-An)” 8, no. 1 (2022)

[9] Abd. Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam Pertengahan, (Cet. I : Yogyakarta : Ombak (Anggota IKAPI, 2016), p.268.

[10] Sandi Nur Rohman, Dinasti Mughal, p.1

[11] Sokah, Din-illahi, Kontroversi Keberagamaan Sultan Akbar Agung, (India 1560- 1605 M(Yogyakarta: Ittaqa Press, 1994),p.5.

[12] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam : Perspektif Historis, (Yogyakarta : Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), p.232.

[13] Abul Fazl, Akbar Nama , (H. Beveridge:1902), p.20.

[14] https://wawasansejarah.com/kebijakan-sultan-akbar-dinasti-mughal/ diakses pada 12 Maret 2023 pukul 22:15

Daftar Pustaka

Adam, Adiyana, Abd Rahim Yunus, and Syamsan Syukur. “Sejarah Perkembangan Dan Kemunduran Tiga Kerajaan Islam Di Abad Modern (1700-1800-An)” 8, no. 1 (2022).

Fathur Rahman. “Sejarah Perkembangan Islam Di Turki” 10 (2018)

Muhammad Basyrul Muvid. “Sejarah Kerajaan Turki Utsmani Dan Kemajuannya Bagi Dunia Islam” 2 (2018).

Desky, Harjony. “Kerajaan Safawi Di Persia Dan Mughal Di India Asal Usul, Kemajuan Dan Kehancuran” 8, no. 1 : 2016.

Rahmida Putri*, Haidar Putra Daulay, Zaini Dahlan. “Warisan Peradaban Islam Era Turki Utsmani Sebagai Penguat Identitas Turki Modern” 1, no. 2 (2021).

Taqwatul Uliyah. “Kepemimpinan Kerajaan Turki Utsmani” 7, no. 2 (2021).

Peradaban Islam Di Spanyol

Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/qc2zfe320/islam-di-spanyol-pernah-berjaya-lalu-jadi-tak-berdaya

        Kekuasaan Islam pertama kali menginjakkan kaki di Andalusia pada masa kekuasaan Dinasti Umayah I di Damaskus, sebelum penaklukkan spanyol, umat islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Dinasti Bani Umayyah. Penguasa sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abd Al-Malik mengangkat Hasan ibnu Nu’man Al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah Al-Walid, Hasan ibnu Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Pada zaman Al-Walid tersebut, Musa Ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko.[1] Musa juga berhasil menaklukan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothik, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq diToledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre.

Sejak Pertama kali Islam berkembang di Spanyol hingga masa jatuhnya, Islam memainkan peran yang sangat besar. Islam di Spanyol telah berkuasa selama tujuh setengah abad, sejarah panjang Islam di Spanyol tersebut dibagi dalam enam periode[2], yaitu Periode pertama (711-755 M) Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai sempurna, berbagai gangguan masih terjadi baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Periode kedua (755-912 M) Pada periode ini, umat Islam mulai memperoleh kemajuan, baik dalam bidang politik atau pun peradaban. Periode Ketiga (912-1013 M) Pada periode ini dapat dikatakan sebagai puncak peradaban Islam di Andalusia. Hal demikian cukup tampak dengan pembangunan Universitas Cordova oleh Abdurrahman An-Nashir. Akan tetapi, secara politik periode ini merupakan periode awal dari kehancuran atau kemunculan Dinasti Umayah II di Andalusia, yakni ditandai dengan munculnya periode Mulukut Thawaif. Periode Keempat (1013-1086 M) Periode ini dapat dikatakan sebagai puncak keterperukan politik Islam di Andalusia. Periode Kelima (1086-1248 M) Di tengah-tengah perpecahan, muncullah dua kekuasaan baru yang begitu dominan, yakni Dinasti Marabitun dan Dinasti Muwahidun. Kemunculan dua dinasti ini dapat dikatakan sebagai fase rekonsiliasi politik Islam di Spanyol. Pasalnya, kekuasaan dua dinasti ini dapat merajut kembali benih-benih perpecahan dalam kekuasaan Islam di Andalusia. Periode Keenam (1248-1492 M) Periode ini dapat dikatakan sebagai periode terakhir dari kekuasaan politik Islam di Andaalusia. Pasalnya, periode ini Islam hanya berkuasa di daerah Granada dengan Dinasti Ahmar (1232-1492 M) sebagai penguasanya.[3]

Pada masa Islam di Spanyol ilmu pengetahuan berkembang pesat dan mempengaruhi pemikiran Eropa (renaissance). Terdapat banyak Universitas dibangun di Cordova, Sevilla, Malaga, Granada dan Salamanca. Banyak orang Eropa kuliah di Spanyol dan menerjemahkan buku-buku ilmuwan muslim Eropa.Lalu di bangun Universitas Paris pada tahun 1231 M. Gerakan renaissance dipengaruhi oleh pemikir Islam Ibnu rusyd sejak abad ke-12 juga dipengaruhi oleh Yunani dan pada abad 14 pemikiran Yunani diambil dari buku-buku Islam diantara para ilmuwannya antara lain Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Abbas Ibnu firnas (pencipta teori awal pesawat). Negeri yang damai dan tidak ada peperangan juga memberi kontribusi bagi kemajuan peradaban ilmu Andalusia. Hingga kemunduran bahkan terhapusnya Islam di Spanyol dikarenakan ada dua faktor yang terjadi diantaranya dari faktor internal sendiri antara umat Islam itu sendiri saling memerangi antara satu dengan yang lainnya. Beberapa faktor kemunduran Islam di Spanyol, sistem pengangkatan ke khalifahan kurang jelas, munculnya kerajaan-kerajaan kecil, fanatisme kesukuan, konflik sesama muslim dan konflik dengan Kristen.

 

 

 


 



[1] Nur Dinah Fauziah and Muhammad Mujtaba Mitra Zuana, “Peradaban Islam Di Andalusia

(Spanyol),” Institut Pesantren KH. Abdul Chalim 1 (March 2016).

[2] Faidi, “Kekuasan Politik Islam Di Andalusia : Pintu Gerbang Menuju Renaisance Eropa.”

[3] Faidi, “Kekuasan Politik Islam Di Andalusia : Pintu Gerbang Menuju Renaisance Eropa.”

Daftar Pustaka 

Abdul Chalim 1 (March 2016).

Faidi, Ahmad. “Kekuasan Politik Islam Di Andalusia : Pintu Gerbang Menuju Renaisance Eropa.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia 6 (April 2021). 

Fauziah, Nur Dinah, and Muhammad Mujtaba Mitra Zuana. “Peradaban Islam Di Andalusia (Spanyol).” Institut Pesantren KH.


Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Sumber: https://www.kompas.com/stori/image/2021/04/20/140841179/kekhalifahan-bani-umayyah- masa-keemasan-dan-akhir-kekuasaan?page=1

 Setelah masa pemerintahan Khulafaurrasyidin berakhir, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh Bani Umayyah. Bani Umayyah didirikan oleh seorang sahabat dari suku Quraisy bernama Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M hingga tahun 132 H/750 M melalui peristiwa tahkim. Dalam peristiwa tahkim itu, khalifah Ali telah tertipu oleh siasat Muawiyah yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan dalam segi politis sehingga Mu’awiyah berhasil mendapat kesempatan untuk menobatkan dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.[1]
        
       Masa kekuasaan Bani Umayyah yang hampir mencapai satu abad, tepatnya 90 tahun ini telah dipimpin sebanyak 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama  menjabat adalah Mua'wwiyah bin Abu Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Adapun urutan khalifah-khalifah yang menjabat pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah sebagai berikut:

1. Mu'awiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-679M)

2. Yazid I bin Mu'awiyah (60-64H/679-683M)

3. Mu'awiyah II bin Yazid (64H/683M)

4. Marwan I bin Hakam (64-65H/683-684M)

5. Abdul Malik bin Marwan (65-86H/684-705M)

6. Al-Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)

 7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-717M)

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-719M)

9. Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)

10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-742)

11. Al-Walid II bin Yazid II (125-126H/742-743M)

12. Yazid bin Walid bin Malik (126H/743M)

13. Ibrahim bin Al-Walid II (126-127H/743-744M)

14. Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)[2]

Faktor keberhasilan tersebut adalah: 1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah. 2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. 3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati.[3] Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun, ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat. Pemerintahan Bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa besar, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri Sind dan berakhir di negeri Spanyol Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat islam secara luas menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah-daerah yang dikalahkan itu bahkan mereka telah menjadi tuan-tuan tanah, prinsip keuangan negara diberlakukan mengikuti apa yang ada pada masa khulafaurrasyidin yaitu penetapan pajak tanah (Kharraj) dan pajak perorangan (Jizyah) untuk setiap individu.[4]

Beberapa kemajuan yang berhasil dicapai oleh dinasti Umayyah dalam berbagai bidang, yaitu: Bidang militer dan kekuasaan, Bidang politik dan pemerintahan, Bidang sosial dan budaya dan Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dinasti Umayyah melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh atau para ilmuan hebat dari berbagai bidang, seperti: Imam Hanafi dan Imam Malik dari bidang ilmu fiqih, Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah Al-Adawiyah dari bidang ilmu tasawuf, Abu Qatadah dari ilmu hadits, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud dari ilmu tafsir, Abu Al-Qasim dan Abbas bin Farnas dari ilmu kimia, fisika dan farmasi dan masih banyak lagi.[5]


 



[1] R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, penerj., History Of The Arabs (Jakarta Selatan: Zaman, 2018), 238.

[2] Ely Zainudin, 31.

[3] Muhammad Nur, “Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umayyah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran),” Jurnal Pusaka 3 (t.t.): 114.

[4] Muhammad Nur, 114.

[5] Fauzi, Siti Aminatul Jannah, “Peradaban Islam; Kejayaan Dan Kemundurannya”, Vol. 6 No. 2, Jurnal Al-Ibrah, Desember 2021, h. 11.

Daftar Pustaka

Muhammad Nur. “Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umayyah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran).” Jurnal Pusaka 3 (t.t.).

R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, trans. oleh. History Of The Arabs. Jakarta Selatan: Zaman, 2018.

Zainudin, Ely. “Perkembangan Islam Pada Masa Bani Umayyah.” Jurnal Intelegensia Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara 3, no. 2 (2015).