Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Arab-Jahiliyyah dengan
membawa syari'ah (sistem hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi
yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip,
kemunculan Nabi Muhammad saw. dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat
dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyahan yang sedang
terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan
petunjuk dari Allah swt.[2]
Negara yang dipimpin oleh Nabi Muhammad adalah negara hukum, bukan
monarki absolut. Hukum tata negara dan hukum publik yang diterapkan bersifat
meyeluruh kepada seluruh lapisan penduduk Madinah dan Nabi Muhammad Saw tetap
menghargai kemerdekaan beragama bagi penduduk Madinah dengan tidak memaksakan
Islam kepada mereka. Faktor kepemimpin Nabi Muhammad Saw berhasil di Madinah
disebabkan karena simpatik dan keterbukaan kaum Anshar terhadap Kaum Muhajirin.
Sehingga misi kerasulan dalam proses penyebaran Islam semakin mudah diterima
oleh masyarakat pada waktu itu karena ditopang dengan kekuatan politik.[3]
Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara itu bertujuan untuk mengatur
segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam
rangka pelaksanaan siyasah syar’iyah. Rasulullah SAW melakukan perundingan atau
negosiasi terutama dengan kaum kafir Quraisy baik di Mekah maupun Madinah untuk
menciptakan keharmonisan sosial. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan di
Madinah ini kemudian tertera dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan
“Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”. Piagam Madinah adalah undang-undang
Negara atau konstitusi pertama yang ada di tanah Arab. Semua komunitas, yang
tinggal di Madinah baik Muslim maupun Yahudi bersatu padu dan mentaati bersama
konstitusi ini dalam sebauh ikatan sosial (negara).[4]
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, status sebagai Rasulullah tidak
dapat diganti oleh siapapun, tetapi kedudukan Rasulullah yang kedua sebagai
pemimpin kaum muslimin harus segera digantikan dan orang pengganti tersebut
dinamakan khalifah. Istilah kekhalifahan muncul setelah terpilihnya Abu Bakar
sebagai pemimpin umat islam menggantikan kepemimpinan Rasul Muhammad. kemudian
diganti oleh Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, dan kemudian Ali Ibn Abi
Thalib. Keempat orang khalîfah tersebut kemudian dalam sejarah Islam dikenal
dengan sebutan Khulafaur Rasyidin.[5]
[1] Muzhiat,
“Historiografi Arab Pra Islam,” h. 131.
[2] Ridwan, Chatib, dan Fuad Rahman, “Sejarah Makkah dan Madinah pada Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam),” h. 3.
[3] Faiz Ibrahim dkk., “Konstitusi Madinah dalam Membangun Civil Society,” Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam 16, no. 1 (2020): h. 5.
[4] Efrinaldi, “Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip-Prinsip Politik Kenegaraan,” h. 93.
[5] Adnan,
“Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah dan Khulafaurrasyidin,” h. 95.
Daftar Pustaka
Adnan,
Mohammad. “Wajah Islam Periode Mekkah-Madinah dan Khulafaurrasyidin.” Cendekia:
Jurnal Studi Keislaman 5, no. 1 (2019): 85–102.
Efrinaldi.
“Paradigma Politik Islam: Prototipe Negara Madinah dan Prinsip[1]Prinsip Politik
Kenegaraan.” Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 2, no. 2 (2017).
Ibrahim, Faiz,
Ali Wakhid, Suhandi, dan Bukhori Abdul Shomad. “Konstitusi Madinah dalam
Membangun Civil Society.” Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam
16, no. 1 (2020).
Muzhiat, Aris.
“Historiografi Arab Pra Islam.” Tsaqôfah: Jurnal Agama dan Budaya 17, no. 2
(Desember 2019)
Ridwan,
Muannif, Adrianus Chatib, dan Fuad Rahman. “Sejarah Makkah dan Madinah pada
Awal Islam (Kajian Tentang Kondisi Geografis, Sosial Politik, dan Hukum Serta
Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam).”
Al-Ittihad: Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam 7, no. 1 (12 Oktober 2021): 1–20.
0 komentar:
Posting Komentar